Sabtu, 12 Mei 2012

Awal Perjalanan Bung Karno

Soekarno muda baru saja menyelesaikan kuliahnya. Gelar insinyur kini telah diraihnya. Ini artinya, ia tidak lagi menerima bantuan keuangan dari orangtuanya. Dan sekarang ia sedang bingung. Diteguknya teh suguhan Inggit. Segelas teh pahit. Toples gula di dapur sudah kosong. Dapurnya sedang kering kerontang. Istrinya, Inggit hanya mampu menyuguhkan teh encer tanpa gula buat tamu-tamu yang datang.


Sebetulnya Bung Karno sudah mendapat tawaran untuk kedudukan menarik di Departemen Pekerjaan Umum. Tapi sudah saatnya para pemuda menolak bekerja sama dengan pemerintah. Begitu pikir Bung Karno. Menurutnya, bekerja sama dengan pemerintah bisa memasung kebebasan berpikir dan bertindak.
Walau begitu, toh Bung Karno tetap butuh uang, untuk membuat dapurnya kembali berasap. Dan untuk mendapatkan uang, tentu saja ia harus bekerja. Untunglah ada lowongan di sekolah Yayasan Ksatriaan, yang dipimpin oleh Ernest Douwes Dekker, masih kerabat Multatuli, seorang tokoh kebangkitan nasional berdarah Indo. Douwes Dekker atau Setia Budi, juga dikenal sebagai tokoh “tiga serangkai” bersama Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara. Sebagai catatan, sekolah Ksatriaan ini sekarang dikenal dengan nama SMP Negeri 1 Bandung. Jurnalis kawakan dan pejuang BM Diah pernah bersekolah di sekolah ini.
Douwes Dekker bertanya pada Bung Karno, “Anda bisa mengajar, kan?”. Bung Karno dengan agak tersinggung, tentu saja mengiyakan. Namun dasar Bung Karno. Kepribadiannya memang ekspresif, meledak-ledak, penuh semangat. Terlebih jika itu sudah menyangkut nasib bangsanya.
Ia menyadari, pelajaran sejarah seharusnya memaparkan fakta. Tapi “dendam-kesumatnya” terhadap imperialisme, tak bisa membuatnya jernih berpikir, kapan saatnya harus berbicara sebagai “guru” dan kapan saatnya bicara sebagai “pejuang revolusi”. Dan itulah yang dilakukannya ketika memberi pelajaran sejarah di hari itu. Bung Karno masih ingat, salah seorang murid di kelasnya itu adalah Anwar Tjokroaminoto, adik Oetari istri pertamanya.
Di hadapan anak-anak dan penilik sekolah (orang Belanda), yang sedang menilai caranya mengajar, ia terseret emosinya pada saat memberi pelajaran sejarah itu. Dengan bakatnya sebagai orator, berapi-api dikritiknya imperialisme. Menggelegar, sampai terlompat-lompat dikutuknya kolonialisme dengan segala sistemnya. Akibatnya bisa diduga. Kontan, penilik sekolah orang Belanda itu mengajukan pemecatan Bung Karno sebagai guru. Kata penilik sekolah itu, “Raden Sukarno, tuan bukan guru, tuan seorang pembicara”.
Namun ada yang lebih menarik dari sekedar ilustrasi kejadian di atas. Saya tertarik menggarisbawahi pendapat Bung Karno tentang pelajaran sejarah di sekolah. Mungkin pendapat Bung Karno di bawah ini adalah jawaban atas pertanyaan, mengapa sekarang ini pelajaran sejarah umumnya kurang menarik perhatian para siswa. Menurut Bung Karno, dalam pelajaran sejarah seharusnya tidak sekedar sibuk dengan urusan nama, tahun, dan kejadian.
Dalam pelajaran sejarah, menurut Bung Karno yang penting adalah mengerti latar belakang sebuah kejadian sejarah. Bukan sekedar menghafal nama, tahun, dan kejadian. Kata Bung Karno selanjutnya:
“Aku memberikan alasan mengapa ini dan itu terjadi. Aku memperlihatkan peristiwa-peristiwa sejarah secara sandiwara. Aku tidak memberikan pengetahuan secara dingin dan kronologis. Ooo tidak, Sukarno tidak memberikan hal semacam itu. Itu tidak bisa diharapkan dari seorang orator yang berbakat dari lahirnya. Aku mengayunkan tanganku dan mencobakannya. Kalau aku bercerita tentang Sun Yat Sen, aku betul-betul berteriak dan memukul meja.” (Buku “Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”).
Bisa saya bayangkan, bagaimana mengasyikkannya pelajaran sejarah, jika yang berdiri di depan kelas itu adalah “Meneer Sukarno”. Sebagai guru, pelajaran sejarah itu diberikannya seperti seorang aktor yang memainkan lakonnya. Ini kira-kira sama dengan seorang dalang yang bisa membawa pendengarnya ke suasana kisah, sehingga pendengar tetap terpaku untuk terus menyimak.
Saya kurang tahu bagaimana metode pengajaran sejarah sekarang ini di sekolah-sekolah di Indonesia. Saya tumbuh di Indonesia dalam generasi yang fasilitasnya belum se-modern generasi sekarang. Namun begitu, teman-teman sebaya sekelas saya di bangku sekolah dasar tidak perlu juara kelas pun, bisa dipastikan akan lancar menjawab pertanyaan, “Bangsa mana saja yang pernah menjajah Indonesia?”. Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, Jepang. Bukankah ini pengetahuan dasar yang sudah otomatis diketahui anak-anak Indonesia, setidaknya generasi saya?
Budaya dan agama asing mana yang mempengaruhi Indonesia? Budha, Hindu dari pengaruh Cina dan India. Islam dari Arab. Katolik/Protestan dari pengaruh Portugis, Spanyol, Belanda. Akulturasi antara animisme penduduk asli dengan berbagai budaya dan agama pendatang, membuat Indonesia masa kini sudah sulit diklaim budayanya 100% asli. (Belum terhitung ekspansi perekonomian dan budaya dari negara-negara lain yang tak tersebut di atas, serta efek globalisme yang semakin mengubah wajah Indonesia).
Hal di atas saya sebut pengetahuan dasar, terlebih karena pengetahuan itu memang sudah menjadi pertanyaan klasik yang kerap menjadi bagian dari ulangan umum di sekolah.
Walau anak-anak itu hafal banyak kejadian sejarah di luar kepala, tapi tanpa mengerti mengapa semua itu harus mereka ketahui, maka sejarah hanya menjadi pelajaran “mati”.
Rendra pernah dikritik cendekiawan muda dalam debat tentang kejadian sejarah. “Ah, sudahlah Mas. Buat apa sejarah itu? Itu kan nostalgia dan romantisme saja”. Komentar itu malah membuat Rendra berbalik heran. Para intelektual muda yang kelak akan mengambil alih masa depan bangsa, lha kok malah mempunyai cara berpikir seperti itu? Bagaimana orang bisa memahami masa kini, bisa membuat perencanaan untuk masa depan, jika tidak belajar dan memahami masa lalu?
Meneropong sejarah ibarat proses merekonstruksi puzzle kejadian. Sebuah kejadian tidak akan mungkin berdiri sendiri. Semua itu adalah rangkaian yang berkaitan satu sama lain. Dalam merekonstruksi ini, peminat sejarah dituntut agar mampu berpikir logis, obyektif, analitis, rasional, untuk bisa mem-verifikasi sebuah paparan fakta. Kemampuan dasar berpikir ilmiah ini, akan membuat sebuah bangsa bisa tahan banting di tengah persaingan.
Bukan sekedar pemanis bibir jika Cicero, filsuf Romawi mengatakan “Historia est Magistra Vitae” atau sejarah adalah guru kehidupan. Seorang guru sejarah yang baik akan mampu merangsang keingintahuan untuk memasuki banyak penjelajahan. Tidak saja tentang sejarah itu sendiri. Tapi jika sejarah itu didalami, maka orang akan terbawa pada sebuah dunia yang lebih luas. Misalnya mengenal nilai kehidupan melalui para pelaku sejarahnya (dari “wong cilik” sampai orang besar), mengenal karakter manusia, menghargai perbedaan kultur dan agama. Juga membangkitkan nasionalisme, mengenal tata sosial, politik, ekonomi dan pemerintahan.
Mempelajari sejarah juga bisa mengilhami usaha preventif sekaligus refleksi, agar sebuah kejadian traumatis tak terulang, atau malah sebagai usaha pelestarian keteladanan agar bisa dicontoh. Ini semua menstimulasi timbulnya sikap saling pengertian dan kearifan dalam hidup bermasyarakat.
Sejalan dengan Bung Karno, Rendra pernah beropini sudah saatnya sistem belajar sejarah di sekolah itu diubah. Tidak hanya sekedar menghafalkan dan mendengarkan. Apa gunanya menghafalkan siapa itu La Galigo dan siapa itu Machiavelli, tanpa memahami mengapa nama mereka mesti dihafalkan? Bukankah jauh lebih menarik mendalami dan membandingkan pikiran antara keduanya? La Galigo penulis sastra dari Sulawesi Selatan, hidup sebelum abad ke-14. La Galigo yang pujangga Bugis, hidup kira-kira hampir satu jaman dengan Machiavelli, ahli politik dari Italia.
Dibanding ahli politik Eropa tadi, justru konsep tentang DEMOKRASI telah lebih dahulu dikenal melalui konsep La Galigo, yang hidup di masa kejayaan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yaitu kerajaan Luwuk. Manuskrip asli La Galigo sampai saat ini tersimpan di Leiden, Belanda. Tulisan La Galigo ini setebal 6000 halaman, ditulis dalam huruf lontara, aksara yang biasa digunakan suku Bugis, Makassar, Luwu di Sulawesi Selatan. Epik La Galigo disebut-sebut sebagai epik terpanjang di dunia.
La Galigo mencatat bahwa yang tertinggi dalam kekuasaan yaitu adat (hukum), sedangkan penguasa itu hanya pelaksana hukum. Hukum/adat ini menyebabkan seorang anak raja tidak otomatis menjadi raja. Dan memang sistem demokrasi itulah yang diterapkan kerajaan Luwuk di Sulawesi Selatan sejak sebelum abad ke-14. Bandingkan dengan ajaran Machiavelli (di antaranya diterapkan Napoleon), bahwa kekuasaan itu mesti dipertahankan dengan menggunakan dana dan senjata, yang mirip dengan prinsip kediktatoran.
Oh ya, kembali lagi ke topik tentang sekolah Ksatriaan di Bandung tadi. Yaitu sekolah pimpinan Douwes Dekker, tempat Sukarno gagal dan dipecat oleh Belanda menjadi guru. Setelah menjadi presiden RI, Sukarno tidak melupakan jasa Douwes Dekker sebagai salah satu tokoh peletak dasar kebangsaan. Douwes Dekker sempat menjadi menteri dalam kabinet Syahrir, anggota DPA, dan sejarawan di bawah kementerian penerangan. Juga salah seorang anggota delegasi dalam bernegosiasi dengan Belanda. Douwes Dekker juga sempat tinggal serumah dengan Bung Karno.
Sampai akhir hayatnya, Douwes Dekker dipandang oleh Belanda sebagai “pengkhianat”. Karena ia berjuang untuk Indonesia, dan sempat diciduk dan ditahan Belanda tahun 1948. Ia dibebaskan ketika kesehatannya semakin memburuk di penjara dan meninggal tahun 1950. Ia dimakamkan di TMP Cikutra Bandung. Di bawah ini telegram “ucapan selamat ultah” dari Bung Karno pada Douwes Dekker, yang menunjukkan perhatian Bung Karno pada eks “bos”-nya di sekolah Ksatriaan di Bandung, tempat Sukarno pernah mengajar.
Sebagai pimpinan yayasan, dulu Douwes Dekker tidak bisa berbuat apa-apa ketika Bung Karno yang diterimanya sebagai guru di sekolahnya, dipecat oleh pemerintah Belanda. Namun Sukarno tidak lupa ucapannya, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Ungkapan Bung Karno yang lain sampai kini tetap dikenang generasi sekarang, yaitu “jas merah” (jangan sekali-sekali melupakan sejarah).
Dan Sukarno memang tidak lupa sejarah, tentang bagaimana jahatnya imperialisme yang telah ratusan tahun menghisap darah rakyat Indonesia. Mengutip kata Willem Oltmans, seorang jurnalis Belanda sahabat Bung Karno.
“Sukarno mati-matian gigih menolak usaha masuknya investor melalui dollar dan yen mereka. Karena ini sama saja mengembalikan imperialisme masa lalu dalam bajunya yang lain. Sedangkan Suharto berbuat sebaliknya. Yaitu Suharto memenuhi keinginan Washington, CIA dan Tokyo.”
Ya, kebanggaan rakyat Indonesia pada gelar Soeharto, masih segar di ingatan, yaitu “Bapak Pembangunan”, tampaknya harus dibayar dengan sangat mahal. Ironisnya, ternyata itu masih diperparah oleh manipulasi, sehingga investasi dan utang luar negeri itu jatuh ke kantong yang tidak semestinya. Yang jelas, tentu bukan kantong rakyat kecil.
Alih-alih menikmati uang pinjaman itu. Pembayaran utang tadi justru dibebankan ke pundak rakyat, yang sebagian besar masih kembang kempis mengatasi kemiskinan. Utang itu hingga kini menjadi belitan tiada akhir, dan yang kena dampaknya adalah rakyat kecil. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin, semakin miskin.
Pelajaran sejarah masa lalu tampaknya masih diabaikan. Imperialisme ternyata kembali lagi dengan gaya baru, yang menaklukkan dengan utang mencekik. Sang pemberi utang secara terang-terangan di depan mata, menjarah harta Indonesia yang ada di bawah tanah. Dengan “jasa” mereka melalui investasi dan utang yang ditanamkan di bumi Indonesia, adakah yang masih bisa berkutik? Apa boleh buat.

Walentina Waluyanti – Nederland

Tidak ada komentar:

Posting Komentar