Sebetulnya
Bung Karno sudah mendapat tawaran untuk kedudukan menarik di Departemen
Pekerjaan Umum. Tapi sudah saatnya para pemuda menolak bekerja sama
dengan pemerintah. Begitu pikir Bung Karno. Menurutnya, bekerja sama
dengan pemerintah bisa memasung kebebasan berpikir dan bertindak.
Walau
begitu, toh Bung Karno tetap butuh uang, untuk membuat dapurnya kembali
berasap. Dan untuk mendapatkan uang, tentu saja ia harus bekerja.
Untunglah ada lowongan di sekolah Yayasan Ksatriaan, yang dipimpin oleh
Ernest Douwes Dekker, masih kerabat Multatuli, seorang tokoh kebangkitan
nasional berdarah Indo. Douwes Dekker atau Setia Budi, juga dikenal
sebagai tokoh “tiga serangkai” bersama Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki
Hajar Dewantara. Sebagai catatan, sekolah Ksatriaan ini sekarang dikenal
dengan nama SMP Negeri 1 Bandung. Jurnalis kawakan dan pejuang BM Diah
pernah bersekolah di sekolah ini.
Douwes Dekker bertanya pada Bung Karno, “Anda bisa mengajar, kan?”. Bung
Karno dengan agak tersinggung, tentu saja mengiyakan. Namun dasar Bung
Karno. Kepribadiannya memang ekspresif, meledak-ledak, penuh semangat.
Terlebih jika itu sudah menyangkut nasib bangsanya.
Ia
menyadari, pelajaran sejarah seharusnya memaparkan fakta. Tapi
“dendam-kesumatnya” terhadap imperialisme, tak bisa membuatnya jernih
berpikir, kapan saatnya harus berbicara sebagai “guru” dan kapan saatnya
bicara sebagai “pejuang revolusi”. Dan itulah yang dilakukannya ketika
memberi pelajaran sejarah di hari itu. Bung Karno masih ingat, salah
seorang murid di kelasnya itu adalah Anwar Tjokroaminoto, adik Oetari
istri pertamanya.
Di
hadapan anak-anak dan penilik sekolah (orang Belanda), yang sedang
menilai caranya mengajar, ia terseret emosinya pada saat memberi
pelajaran sejarah itu. Dengan bakatnya sebagai orator, berapi-api
dikritiknya imperialisme. Menggelegar, sampai terlompat-lompat
dikutuknya kolonialisme dengan segala sistemnya. Akibatnya bisa diduga.
Kontan, penilik sekolah orang Belanda itu mengajukan pemecatan Bung
Karno sebagai guru. Kata penilik sekolah itu, “Raden Sukarno, tuan bukan
guru, tuan seorang pembicara”.
Namun
ada yang lebih menarik dari sekedar ilustrasi kejadian di atas. Saya
tertarik menggarisbawahi pendapat Bung Karno tentang pelajaran sejarah
di sekolah. Mungkin pendapat Bung Karno di bawah ini adalah jawaban atas
pertanyaan, mengapa sekarang ini pelajaran sejarah umumnya kurang
menarik perhatian para siswa. Menurut Bung Karno, dalam pelajaran
sejarah seharusnya tidak sekedar sibuk dengan urusan nama, tahun, dan
kejadian.
Dalam
pelajaran sejarah, menurut Bung Karno yang penting adalah mengerti
latar belakang sebuah kejadian sejarah. Bukan sekedar menghafal nama,
tahun, dan kejadian. Kata Bung Karno selanjutnya:
“Aku
memberikan alasan mengapa ini dan itu terjadi. Aku memperlihatkan
peristiwa-peristiwa sejarah secara sandiwara. Aku tidak memberikan
pengetahuan secara dingin dan kronologis. Ooo tidak, Sukarno tidak
memberikan hal semacam itu. Itu tidak bisa diharapkan dari seorang
orator yang berbakat dari lahirnya. Aku mengayunkan tanganku dan
mencobakannya. Kalau aku bercerita tentang Sun Yat Sen, aku betul-betul
berteriak dan memukul meja.” (Buku “Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia”).
Bisa
saya bayangkan, bagaimana mengasyikkannya pelajaran sejarah, jika yang
berdiri di depan kelas itu adalah “Meneer Sukarno”. Sebagai guru,
pelajaran sejarah itu diberikannya seperti seorang aktor yang memainkan
lakonnya. Ini kira-kira sama dengan seorang dalang yang bisa membawa
pendengarnya ke suasana kisah, sehingga pendengar tetap terpaku untuk
terus menyimak.
Saya
kurang tahu bagaimana metode pengajaran sejarah sekarang ini di
sekolah-sekolah di Indonesia. Saya tumbuh di Indonesia dalam generasi
yang fasilitasnya belum se-modern generasi sekarang. Namun begitu,
teman-teman sebaya sekelas saya di bangku sekolah dasar tidak perlu
juara kelas pun, bisa dipastikan akan lancar menjawab pertanyaan,
“Bangsa mana saja yang pernah menjajah Indonesia?”. Portugis, Spanyol,
Belanda, Inggris, Jepang. Bukankah ini pengetahuan dasar yang sudah
otomatis diketahui anak-anak Indonesia, setidaknya generasi saya?
Budaya
dan agama asing mana yang mempengaruhi Indonesia? Budha, Hindu dari
pengaruh Cina dan India. Islam dari Arab. Katolik/Protestan dari
pengaruh Portugis, Spanyol, Belanda. Akulturasi antara animisme penduduk
asli dengan berbagai budaya dan agama pendatang, membuat Indonesia masa
kini sudah sulit diklaim budayanya 100% asli. (Belum terhitung ekspansi
perekonomian dan budaya dari negara-negara lain yang tak tersebut di
atas, serta efek globalisme yang semakin mengubah wajah Indonesia).
Hal
di atas saya sebut pengetahuan dasar, terlebih karena pengetahuan itu
memang sudah menjadi pertanyaan klasik yang kerap menjadi bagian dari
ulangan umum di sekolah.
Walau
anak-anak itu hafal banyak kejadian sejarah di luar kepala, tapi tanpa
mengerti mengapa semua itu harus mereka ketahui, maka sejarah hanya
menjadi pelajaran “mati”.
Rendra pernah dikritik cendekiawan muda dalam debat tentang kejadian sejarah. “Ah, sudahlah Mas. Buat apa sejarah itu? Itu kan nostalgia dan romantisme saja”.
Komentar itu malah membuat Rendra berbalik heran. Para intelektual muda
yang kelak akan mengambil alih masa depan bangsa, lha kok malah
mempunyai cara berpikir seperti itu? Bagaimana orang bisa memahami masa
kini, bisa membuat perencanaan untuk masa depan, jika tidak belajar dan
memahami masa lalu?
Meneropong sejarah ibarat proses merekonstruksi puzzle
kejadian. Sebuah kejadian tidak akan mungkin berdiri sendiri. Semua itu
adalah rangkaian yang berkaitan satu sama lain. Dalam merekonstruksi
ini, peminat sejarah dituntut agar mampu berpikir logis, obyektif,
analitis, rasional, untuk bisa mem-verifikasi sebuah paparan fakta.
Kemampuan dasar berpikir ilmiah ini, akan membuat sebuah bangsa bisa
tahan banting di tengah persaingan.
Bukan sekedar pemanis bibir jika Cicero, filsuf Romawi mengatakan “Historia est Magistra Vitae”
atau sejarah adalah guru kehidupan. Seorang guru sejarah yang baik akan
mampu merangsang keingintahuan untuk memasuki banyak penjelajahan.
Tidak saja tentang sejarah itu sendiri. Tapi jika sejarah itu didalami,
maka orang akan terbawa pada sebuah dunia yang lebih luas. Misalnya
mengenal nilai kehidupan melalui para pelaku sejarahnya (dari “wong
cilik” sampai orang besar), mengenal karakter manusia, menghargai
perbedaan kultur dan agama. Juga membangkitkan nasionalisme, mengenal
tata sosial, politik, ekonomi dan pemerintahan.
Mempelajari
sejarah juga bisa mengilhami usaha preventif sekaligus refleksi, agar
sebuah kejadian traumatis tak terulang, atau malah sebagai usaha
pelestarian keteladanan agar bisa dicontoh. Ini semua menstimulasi
timbulnya sikap saling pengertian dan kearifan dalam hidup
bermasyarakat.
Sejalan
dengan Bung Karno, Rendra pernah beropini sudah saatnya sistem belajar
sejarah di sekolah itu diubah. Tidak hanya sekedar menghafalkan dan
mendengarkan. Apa gunanya menghafalkan siapa itu La Galigo dan siapa itu
Machiavelli, tanpa memahami mengapa nama mereka mesti dihafalkan?
Bukankah jauh lebih menarik mendalami dan membandingkan pikiran antara
keduanya? La Galigo penulis sastra dari Sulawesi Selatan, hidup sebelum
abad ke-14. La Galigo yang pujangga Bugis, hidup kira-kira hampir satu
jaman dengan Machiavelli, ahli politik dari Italia.
Dibanding
ahli politik Eropa tadi, justru konsep tentang DEMOKRASI telah lebih
dahulu dikenal melalui konsep La Galigo, yang hidup di masa kejayaan
kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yaitu kerajaan Luwuk. Manuskrip
asli La Galigo sampai saat ini tersimpan di Leiden, Belanda. Tulisan La
Galigo ini setebal 6000 halaman, ditulis dalam huruf lontara, aksara
yang biasa digunakan suku Bugis, Makassar, Luwu di Sulawesi Selatan.
Epik La Galigo disebut-sebut sebagai epik terpanjang di dunia.
La
Galigo mencatat bahwa yang tertinggi dalam kekuasaan yaitu adat
(hukum), sedangkan penguasa itu hanya pelaksana hukum. Hukum/adat ini
menyebabkan seorang anak raja tidak otomatis menjadi raja. Dan memang
sistem demokrasi itulah yang diterapkan kerajaan Luwuk di Sulawesi
Selatan sejak sebelum abad ke-14. Bandingkan dengan ajaran Machiavelli
(di antaranya diterapkan Napoleon), bahwa kekuasaan itu mesti
dipertahankan dengan menggunakan dana dan senjata, yang mirip dengan
prinsip kediktatoran.
Oh
ya, kembali lagi ke topik tentang sekolah Ksatriaan di Bandung tadi.
Yaitu sekolah pimpinan Douwes Dekker, tempat Sukarno gagal dan dipecat
oleh Belanda menjadi guru. Setelah menjadi presiden RI, Sukarno tidak
melupakan jasa Douwes Dekker sebagai salah satu tokoh peletak dasar
kebangsaan. Douwes Dekker sempat menjadi menteri dalam kabinet Syahrir,
anggota DPA, dan sejarawan di bawah kementerian penerangan. Juga salah
seorang anggota delegasi dalam bernegosiasi dengan Belanda. Douwes
Dekker juga sempat tinggal serumah dengan Bung Karno.
Sampai
akhir hayatnya, Douwes Dekker dipandang oleh Belanda sebagai
“pengkhianat”. Karena ia berjuang untuk Indonesia, dan sempat diciduk
dan ditahan Belanda tahun 1948. Ia dibebaskan ketika kesehatannya
semakin memburuk di penjara dan meninggal tahun 1950. Ia dimakamkan di
TMP Cikutra Bandung. Di bawah ini telegram “ucapan selamat ultah” dari
Bung Karno pada Douwes Dekker, yang menunjukkan perhatian Bung Karno
pada eks “bos”-nya di sekolah Ksatriaan di Bandung, tempat Sukarno
pernah mengajar.
Sebagai
pimpinan yayasan, dulu Douwes Dekker tidak bisa berbuat apa-apa ketika
Bung Karno yang diterimanya sebagai guru di sekolahnya, dipecat oleh
pemerintah Belanda. Namun Sukarno tidak lupa ucapannya, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Ungkapan Bung Karno yang lain sampai kini tetap dikenang generasi sekarang, yaitu “jas merah” (jangan sekali-sekali melupakan sejarah).
Dan
Sukarno memang tidak lupa sejarah, tentang bagaimana jahatnya
imperialisme yang telah ratusan tahun menghisap darah rakyat Indonesia.
Mengutip kata Willem Oltmans, seorang jurnalis Belanda sahabat Bung
Karno.
“Sukarno
mati-matian gigih menolak usaha masuknya investor melalui dollar dan
yen mereka. Karena ini sama saja mengembalikan imperialisme masa lalu
dalam bajunya yang lain. Sedangkan Suharto berbuat sebaliknya. Yaitu
Suharto memenuhi keinginan Washington, CIA dan Tokyo.”
Ya,
kebanggaan rakyat Indonesia pada gelar Soeharto, masih segar di
ingatan, yaitu “Bapak Pembangunan”, tampaknya harus dibayar dengan
sangat mahal. Ironisnya, ternyata itu masih diperparah oleh manipulasi,
sehingga investasi dan utang luar negeri itu jatuh ke kantong yang tidak
semestinya. Yang jelas, tentu bukan kantong rakyat kecil.
Alih-alih
menikmati uang pinjaman itu. Pembayaran utang tadi justru dibebankan ke
pundak rakyat, yang sebagian besar masih kembang kempis mengatasi
kemiskinan. Utang itu hingga kini menjadi belitan tiada akhir, dan yang
kena dampaknya adalah rakyat kecil. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin,
semakin miskin.
Pelajaran
sejarah masa lalu tampaknya masih diabaikan. Imperialisme ternyata
kembali lagi dengan gaya baru, yang menaklukkan dengan utang mencekik.
Sang pemberi utang secara terang-terangan di depan mata, menjarah harta
Indonesia yang ada di bawah tanah. Dengan “jasa” mereka melalui
investasi dan utang yang ditanamkan di bumi Indonesia, adakah yang masih
bisa berkutik? Apa boleh buat.
Walentina Waluyanti – Nederland
|