*)
Diskusi lintas PPPA HMI komisariat Saintek UIN Malang
Detik-detik ini dikenal dengan masa
runtuhnya berbagai wacana besar. Modernisme sebagai wujud isme krisis
kemanusiaan akibat ancaman nuklir, AIDS atau kerusakan sistem sosial yang terus
berkembang kepada keakcauan sistem. yang telah membuktikan keberhasilannya
menjadi penguasa jaman, saat ini terus mengalami goncangan hebat semenjak
kritik pedas dari berbagai kalangan akibat efek samping yang mengerikan
sehingga terjadinya kerusakan lingkungan dan
Namun cara berfikir yang memandang bahwa masa
sebelumnya, abad pertengahan, sebagai massa yang lebih baik juga tidak bisa
dibenarkan. Secara bijak, lebih baik kita memandang fase-fase peradaban manusia
ini sebagai sebuah pelajaran, khususnya untuk membangun peradaban baru
pengganti modernisme.
Bila kita mencoba memandang awal kelahiran modernisme,
kita akan melihat sebuah proses revolusi peradaban yang berawal dari revolusi
pemahaman manusia tentang tentang cara pandang terhadap realitas melalui fisika
di tangan Descartes. Disaat itu Descartes membangun sebuah wacana besar tentang
metode pemahaman realitas yang bertumpu pada konsep Democritus yang membagi
realitas ke dalam atom-atom penyusun realitas dan kemudian dicari sistemnya
terhadap keseluruhan. Di tangan Descartes dan para pengikutnya inilah kemudian
Fisika yang menjadi Geometris menjelma sebagai bentuk ideologi besar
modernisme, bahkan kemudian setelah meruntuhkan dominasi gereja bisa menjadi ‘satu-satunya’
tafsir kebenaran terhadap segala macam realitas. Alam di dalam tafsir ala
Descartes merupakan sebuah alam yang ‘lansung jadi’ dan tidak memiliki
perubahan. Sistemnya tetap,begitu juga elemen pembentuk alam.
Setelah konsepsi Descartes mempengaruhi segala macam
kehidupan, termasuk tatanan sosial di tengan Bacon dan Comte, kemudian alam
fikiran modern mengenal seorang Lamarck dan Darwin dengan teori evolusinya di
bidang Biologi . Walaupun keduanya sejatinya berbeda dalam memaknai proses
evolusi, namun konsep evolusi ini merupakan sebuah revisi terhadap konsep ala
Descartes yang menganggap alam sebagai sebuah sistem yang tetap. Ternyata ide
Darwin ini kemudian mendapat dukungan dari generasai berikutnya, yang kemudian
abad modern mengenal Karl Marx yang dikenal sebagai seorang Darwinian Sosial
yang menganggap bahwa preses pergantian sosialpun memerlukan seleksi alam,
bahkan dihalalkan adanya konflik untuk keluar sebagai pemenang dalam proses
seleksi alam.
Setelah dunia mengenal Newton, kemudian Fisika mengalami
proses penyempurnaan lagi. Realitas yang terdiri atas sistem dan elemen
pembentuk sistem (Descates), dan realitas yang sejatinya mengalami sebuah
evolusi terus menerus (Darwin) di terangkan oleh Newton dalam Mekanika. Wacana
besar pembentuk modernisme di tangan Newton bisa dibilang sempurna. Dan wacana
besar Descartes, Darwin dan Newton ini yang kemudian menjadi fondasi
modernisme. Apalagi ketiga konsep besar itu menemukan bentuk fungsionalnya
dalam teknologi ditangan para teknolog, sebuah revolusi industri telah dialami
oleh ummat manusia semenjak akhir abad ke -17.
Melihat proses kelahiran modernisme di atas, bisa
dikatakan peran Sains ( atau lebih tepatnya Natural Science) dalam menentukan
arah peradaban cukup besar. Dimana para Saintis yang memiliki kompetensi
filosofis tersebut ternyata terbukti bisa menggiring sejarah ummat manusia.
Begitu juga peran Teknologi, dimana ketika Sains memiliki peran besar dalam
proses pembentukan wacana besar yang menjadi fondasi ‘kebenaran’, Teknologi
sebagai bentuk aplikasi Sains memiliki peran besar dalam realitas sosial.
Pendek kata, Sains bisa bermain di ‘langit’ dan teknologi bisa bermain di
‘bumi’.
Selanjutnya, bagaimana peran Sains dan Teknologi dalam
penentuan bentuk peradaban baru pasca modernisme ?
Fritjof Capra menyitir Toynbee tentang proses
kelahiran Minoritas Kreatif sebagai nukleolus penentu arah peradaban sebagai
berikut:
Budaya runtuh karena kehilangan Fleksibilitas. Pada
waktu struktur sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sedangkan masyarakat
tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, peradaban itu
tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi budayanya. Dia akan hancur
dan secara berangsur mengalami disintegrasi.
Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang
menunjukan keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti,
peradaban-peradaban yang berada dalam proses disintegrasi menunjukkan
keseragaman dan kurangnya daya temu. Hilangnya flesibilitas dalam masyarakat
yang mengalami disintegrasi ini disertai dengan hilangnya harmoni secara umum
pada elemen-elemennya, yang mau tak mau mengarah pada meletusnya perpecahan dan
kekacauan sosial.
Namun demikian, selama proses disintegrasi yang
menyakitkan itu, kreativitas masyarakat -kemampuannya untuk menghadapi tantangan
– tidak hilang sama sekali. Meskipun arus budaya telah menjadi beku dengan
melekatkan diri pada pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku yang
kaku, minoritas kreatif akan tetap muncul ke permukaan dan melanjutkan proses
tantangan dan tanggapan itu. Lembaga–lembaga sosial yang dominan akan menolak
menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan budaya baru ini, tetapi
mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami disintegrasi, dan kelompok
minoritas kreatif itu mungkin akan mampu mentransformasikan beberapa elemen
lama menjadi konfigurasi baru. Proses evolusi budaya ini akan terus berlanjut,
tetapi berada dalam kondisi-kondisi baru dan dengan tokoh-tokoh baru pula.
(dari Titik Balik Perdaban, Fritjof Capra, 1981).
Dari deskripsi Toynbee di atas, sepertinya semenjak
terjadi revisi di dalam konsep Newton oleh Farady dan Maxwell melalui Teori
Medan Listriknya, serta lahirnya teori Fisika Kuantum dan Relatifitas ditangan
Heisenberg dan Einstein, minoritas kreatif pembentuk peradaban baru tersebut
sedikit demi sedikit telah terbentuk. Bahkan setelah ada interaksi antara
matematika tingkat tinggi dengan teknologi elektronika, kita kemudian mengenal
bentuk aplikasi teknologi yang dikenal dengan teknologi komputer, yang jauh
meninggalkan konsep mekanika newton.
Dunia kemudian juga mengenal adanya pengaruh filosofis
dari konsep Fisika Kuantum terhadap realitas sosial, dimana ketika teknologi
Komputer berinteraksi dengan realitas sosial, lahirlah sebuah teknologi
informasi yang bergerak dalam logika Kuantum yang diprediksikan oleh Tofler
akan menjadi tulang punggung bentuk peradaban baru pengganti modernisme.
Kemudian kita mengenal bagaimana konsep cepat-lambat mengalami perubahan secara
drastis. Juga konsep keterbatasan ruang yang bisa diatasi sehinga konsep jauh
dan dekat secara filosofis juga mengalami perubahan makna. Dengan demikian
jaring-jaring Cartesian akan sulit untuk mengambarkan karena konsep ruang dan
waktu ini sudah berubah secara filosofis. Bahkan perbedaan konsep nyata dan
imajiner yang juga kemudian di kembangkan oleh dunia IT akan segera teratasi
akan semakin meninggalkan jaring-jaring Cartesian sebagai satu-satunya yang
bisa menggambarkan kenyataan. Juga dengan berkembangnya pemetaan DNA, rekayasa
genetika yang meninggalkan konsep evolusinya Darwin. Sekali lagi terbukti,
pengaruh dominan Sainstis dan Teknolog ternyata masih sangat dominan untuk
menentukan masa depan ummat manusia. Apalagi setelah Ilmuan Sosial Mahzab
Kritis dengan Posmodernismenya terjebak dalam wacana dan definisi semata, serta
para teolog dan ahli agama yang terus disibukkan dengan perdebatan liberal dan
konservatifnya, disdari atau tidak para Saintis dan Teknolog akan tetap menjadi
penentu arah peradaban.
Seorang Descartes disaat awal merumuskan konsep
Geometri Analitisnya mungkin tidak berfikir tentang implikasi moral dan sosial
dari konsepnya. Demikian juga seorang Darwin dan juga Newton. Apalagi melihat
konsep reduksionisnya Descartes yang kemudian mengilhami pembagian bidang
spesialisasi ilmu yang di masa peradaban Islam tidak begitu penting. Sehingga,
bisa jadi pengaruh yang diberikan mereka terhadap bentuk perubahan sosial tidak
begitu difikirkan mereka. Dalam kalimat lain, bentuk modernisme sebagai bentuk
tatanan sosial pengganti tatanan sosial ‘abad kegelapan’ bisa jadi tidak pernah
mereka fikirkan bahkan tidak pernah mereka bayangkan. Apalagi dampak negatifnya
terhadap kenyataan sosial.
Bersandar dari modifikasi
kebijaksanaan para geologist dengan The Present is the key to the past and the
future, ‘penyesalan’ ummat manusia terhadap akhir menyakitkan dari modernisme
perlu disikapi dengan bijak. Adalah sebuah kebutuhan mutlak saat ini komunitas
saintis dan teknolog terus membangun bentuk pengembagan dan penerapan sains dan
teknologi yang mempertimbangkan konsekuensi ekologi, moral dan sosial dari
proses inovasi maupun inventory yang mereka lakukan. Karena, dalam kenyataannya
teriakan para ahli ilmu sosial dan juga teolog atau ulama tidak akan banyak
artinya karena sejatinya Minoritas kreatif atau nukleolus dari sel-sel
pembentuk peradaban ini disadari atau tidak adalah saintis dan teknolog itu
sendiri.
Perlu kiranya dibangun sistem yang
memungkinkan terbukanya kembali sekat-sekat komunikasi antara sains dan
teknologi, dari fihak saintis dan teknolog tentunya, dengan disiplin ilmu dan
spesialisasi lain tanpa harus memandang bidang ilmu dan kompetensi yang mungkin
di dalam sistem feodalisme baru yang mereka anut dipandang lebih rendah.
Disamping itu, perlu dibangun sebuah etika profetis (meminjam konsep Kuntowijoyo)
di kalangan saintis dan teknolog, sebagaimana layaknya para nabi yang memandang
dirinya sebagai sosok pembebebas ummat manusia dari segala penindasan, sebagai
sosok yang mendedikasiakan proses inovasi dan inventory-nya untuk pembangunan
kembali hakekat kemanusiaan yang nyaris musnah, dan juga sebagai para pengingat
ummat manusia akan kenyataan bahwa sejatinya mereka adalah mahluk Tuhan yang
tiada lain harus berbuat baik di dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar