Saat menerima penghargaan dari Universitas Mercu Buana hari Sabtu pekan lalu, wartawan senior Rosihan Anwar menekankan pentingnya pendidikan. Investasi pada bidang sumber daya manusia memang tidak segera bisa dinikmati hasilnya. Namun pada jangka panjang, niscaya manfaatnya akan segera terasakan.
Rosihan menunjuk India sebagai contoh. ”Lima puluh tahun lalu ketika India memutuskan untuk fokus pada human investment, banyak negara yang mencemooh. Untuk apa melahirkan banyak doktor, sarjana di bidang keuangan dan bidang sains, kalau negaranya tetap miskin,” kata Rosihan.
Cemoohan itu, menurut Rosihan, wajar muncul karena kaum intelektual India itu tidak mendapatkan tempat di negerinya. Bangsa India justru berdiaspora, bertebaran di banyak negara, bekerja di negeri orang.
”Ketika jumlahya masih terbatas dan lapangan kerja di dalam negerinya masih terbatas, orang India yang pintar-pintar terpaksa pergi ke Amerika, ke Inggris, ke Australia untuk bekerja. Tetapi ketika critical mass-nya tercipta, India bisa membangun negaranya sendiri,” kata wartawan senior itu.
Rosihan tidak ragu dengan pandangan banyak orang bahwa India dalam waktu tidak terlalu lama akan menjadi kekuatan ekonomi besar dunia. Mengapa? Karena India mempunyai sumber daya manusia yang memadai untuk mendorong negaranya menjadi negara maju.
”Orang mengatakan India seperti halnya China akan menjadi kekuatan ekonomi utama dunia, saya tidak ragu karena bangsa India melakukan kebijakan yang tepat, yakni melakukan human investment,” kata Rosihan.
Kata kunci yang harus dihadapi seluruh bangsa dunia di depan adalah persaingan. Globalisasi yang sedang kita hadapi membuat persaingan itu bahkan akan semakin ketat.
Untuk bisa memenangi persaingan tidak ada pilihan lain kecuali setiap negara memiliki SDM yang berkualitas. Semakin banyak SDM berkualitas yang dimiliki sebuah negara akan semakin besar peluang yang dimiliki negara tersebut untuk bisa memenangi persaingan atau kompetisi dan memetik manfaat maksimal dari yang namanya globalisasi.
Tentu untuk membuat keunggulan itu bermanfaat serta menghasilkan sesuatu bagi bangsa dan negara dibutuhkan lingkungan yang mendukung. Harus disediakan ruangan yang bisa memungkinkan semua potensi itu berkembang dengan optimal.
Di sinilah diperlukan yang namanya levelled playing field, ruang bermain yang berlaku sama bagi setiap warga negara. Mereka yang meraih kemajuan adalah mereka yang memang lebih kreatif, mereka yang lebih produktif, mereka yang bisa menghasilkan karya yang lebih baik. Bukan mereka yang kebetulan mendapatkan kemudahan, memiliki kekuasaan, mendapatkan privilege.
Dengan lingkungan yang lebih kondusif, maka setiap orang dipacu untuk memiliki etos kerja yang tinggi. Tidak mudah mengeluh dan menyerah kepada keadaan. Selalu berupaya untuk lebih unggul dan memenangi persaingan.
Sikap untuk tidak mudah kalah harus diciptakan dari lingkungan yang sehat. Semua orang dipacu untuk bisa menjadi yang terbaik. Tidak bisa sikap ”kalau bangsa lain bisa, kita juga harus bisa” terjadi dengan sendiri. Itu harus dengan sengaja dibentuk dan ditanamkan kepada diri setiap warga negara.
LINGKUNGAN
Pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia tidak memiliki SDM yang unggul?
Bangsa ini dilahirkan sebagai bangsa yang cerdas dan unggul. Dalam setiap bidang, selalu lahir orang-orang yang berkualitas, entah itu dari olahraga maupun bidang-bidang yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
Ukurannya sederhana saja. Orang Indonesia selalu menonjol ketika dia berkiprah di negeri orang. Sebut, misalnya, pemain sepak bola Kurniawan Dwi Julianto ketika berkiprah di Liga Swiss atau Bambang Pamungkas yang sekarang ini menjadi bintang di Liga Malaysia. Atau di cabang bulu tangkis, Tony Gunawan yang mampu membawa Amerika Serikat tiba-tiba masuk ke dalam kelompok negara juara dengan mempersembahkan gelar juara dunia ganda putra bagi negeri tersebut.
Singapura sejak lama melihat Indonesia sebagai negara dengan potensi SDM berkualitas. Sejak beberapa tahun terakhir, mereka masuk ke sekolah-sekolah terbaik yang ada di Indonesia untuk menawarkan beasiswa kepada murid yang berpotensi.
Sejak tingkat SMA, anak-anak Indonesia diundang untuk mengecap pendidikan di Negeri Singa itu. Ketika prestasinya semakin menonjol, mereka ditawari beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dengan ikatan dinas. Anak-anak Indonesia itu diminta untuk tiga tahun bekerja di Singapura setelah selesai menjalani pendidikan tingkat tingginya.
Prestasi anak-anak Indonesia diakui di banyak negara lain. Pertanyaannya tentu, mengapa mereka tidak bisa memberi sumbangsih yang nyata bagi kemajuan Tanah Airnya?
Jawabannya terletak pada faktor lingkungan. Potensi yang luar biasa dari putra bangsa tidak mendapatkan tempat untuk bisa berkembang di negerinya.
Sikap untuk mencari jalan pintas begitu umum terjadi di negeri ini. Bahkan orang bangga apabila bisa kaya, meski tidak bekerja.
Padahal, Bapak Bangsa India Mahatma Gandhi mengatakan, salah satu dari tujuh dosa sosial adalah kaya tanpa bekerja. Orang harus merasa malu apabila kaya raya tetapi tidak dari bekerja. Artinya, orang harus bekerja keras, harus berkeringat apabila ingin memetik hasilnya.
Untuk itu Gandhi mengajarkan rakyatnya untuk pintar dan berilmupengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan pun bukan sekadar ilmu biasa, tetapi ilmu pengetahuan yang dilengkapi dengan karakter.
Sebab, memang sangat berbahaya orang memiliki ilmu, namun tidak ditujukan untuk kepentingan yang baik. Apalagi tidak dilengkapi dengan etika yang ia pegang teguh. Mereka akan menjadi monster yang merugikan dan membahayakan orang lain.
Kita sangat merasakan sekarang ini ketika orang terbawa arus konsumerisme, tanpa memahami untuk apa semua itu. Kekayaan dan menjadi kaya seolah-olah menjadi tujuan yang harus dicapai, tanpa peduli bagaimana semua itu didapatkan.
Maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di negeri ini terjadi ketika semua orang menjadikan kaya itu sebagai tujuan. Di tengah ketidakpahaman untuk apa orang menjadi kaya itu dan bagaimana meraih kekayaan itu, maka orang mau melakukan apa saja untuk meraih tujuan tersebut.
PERBAIKAN
Apabila kita ingin memperbaiki bangsa dan negara ini dengan membangun budaya unggul (culture of excellences), maka tidak bisa lain kecuali kita memperbaiki lingkungan terlebih dahulu. Harus diciptakan suasana yang menyehatkan, yang memungkinkan semua orang untuk mempertunjukkan keunggulan.
Caranya adalah dengan bersama-sama memberikan penghargaan kepada setiap keunggulan yang ada dan tercipta. Tidak perlu bentuknya dalam materi, tetapi pengakuan atas kehebatan seseorang sudah menjadi pemacu yang luar biasa bagi setiap orang untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi.
Sebaliknya, kita harus berani memberikan hukuman kepada mereka yang melanggar aturan main. Jangan dibiarkan orangorang yang jelas tidak unggul, tetapi mendapatkan kehormatan, kedudukan, apalagi kekayaan yang tidak sepantasnya didapat.
Artis-artis musik, misalnya, merupakan contoh orang-orang yang unggul. Dengan karyanya, mereka mampu mengangkat nama Indonesia untuk menembus pentas dunia. Namun, musisi seperti Dwiki Dharmawan dan Anang pernah mengeluh, betapa karyanya sangat tidak dihargai. Begitu karya mereka hasilkan, begitu pembajakan terjadi.
Upaya untuk mengadukan nasibnya kepada polisi sama sekali tidak membawa hasil. Para pembajak begitu leluasa menikmati hasil pembajakannya dan sering kali mereka membagi keuntungan yang tidak sah itu bersama oknum aparat.
Trio Bimbo (Sam, Acil, dan Jaka) pernah sampai patah semangat untuk berkarya. Sebab, karya yang jelas-jelas milik mereka, tidak dianggap sebagai karya yang harus diakui. Tidak ada satu pun pihak yang mau peduli dan kemudian memperjuangkan hak mereka.
Negeri ini mempunyai potensi besar untuk bisa maju. Negeri ini bukan hanya diberkahi dengan sumber daya alam yang melimpah, tetapi juga dengan SDM yang berkualitas.
Yang dibutuhkan adalah cara penanganan yang benar. Dengan pemberian kesempatan lebih banyak lagi kepada setiap orang untuk bisa mengecap pendidikan agar tercapai critical mass yang mencukupi untuk bisa membawa negeri ini maju, maka niscaya negeri ini akan bergerak maju.
Apalagi jika ditambah dengan penciptaan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship), maka orang tidak hanya didorong untuk memproduksi, tetapi bisa juga memasarkan hasil produksinya.
Investasi untuk tercapainya itu semua bukan hanya mahal, tetapi membutuhkan waktu yang panjang. Namun itu harus dilakukan, karena pilihan lain adalah bangsa ini akan menjadi bangsa yang terkebelakang.
Prof Daoed Joesoef pernah mengingatkan, tantangan yang dihadapi setiap bangsa ke depan adalah apa yang disebut dengan global trap. Perangkap global menunjukkan, jumlah orang yang berkualitas makin lama justru semakin lebih sedikit dibandingkan orang yang tak berkualitas.
Untuk mencegah jangan sampai itu terjadi, maka tidak bisa lain kecuali secara sengaja memberikan prioritas kepada investasi SDM.
Banyak negara mampu mengangkat bangsanya karena fokus untuk menangani pendidikan bangsanya. Kalau negara lain bisa, mengapa kita, bangsa Indonesia tidak mampu melakukan?
Belum lama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menantang anak-anak bangsa untuk mempunyai sikap ”kalau orang lain bisa, mengapa kita tidak?” Sangat relevan kalau kita juga balik menantang pemerintah, ”kalau negara lain bisa memajukan bangsanya, mengapa pemerintah kita tidak bisa?”
Seharusnya tidak ada yang tidak bisa di dunia ini.
Oleh SURYOPRATOMO (KOMPAS 10 desember 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar