Tiga puluh tahun yang lalu, saya mendengar dari profesor saya di ruang kelas bahwa Indonesia merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena sumber daya alam dan manusianya begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah lewat, dan saya sudah menjadi profesor. Saya masih juga mengatakan kepada murid-murid saya bahwa Indonesia negara besar dan berpotensi tinggi dengan alasan yang sama.
Tanggal 19 Desember 2007, rakyat Korea (Korsel) memilih presiden baru, yaitu Lee Myung-bak (biasa disebut MB) yang akan memulai lima tahun masa jabatannya pada 25 Februari mendatang. MB berjanji bahwa dalam masa jabatannya Korea akan lebih maju dengan wawasan 7-4-7, yang berisikan bahwa 7 persen pertumbuhan ekonomi per tahun, 40.000 dollar AS pendapatan per kapita, dan negara ke-7 terbesar dari segi ekonominya (sekarang ke-11 terbesar).
Pada hemat saya, Indonesia juga bisa, karena negara ini punya kemampuan.
Ciri utama yang mewarnai negara berkembang, dan merupakan musuh utama yang harus kita kalahkan, ialah kebodohan dan kemalasan yang keduanya adalah cikal bakal yang melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang lebih dahulu mampu menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan dengan cepat dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.
Ciri utama yang mewarnai negara berkembang, dan merupakan musuh utama yang harus kita kalahkan, ialah kebodohan dan kemalasan yang keduanya adalah cikal bakal yang melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang lebih dahulu mampu menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan dengan cepat dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.
Dalam
teori pembangunan, sebagaimana ditulis Steven J Rosen dalam bukunya,
The Logic of International Relation, dikenal dua aliran pendapat tentang
sebab-sebab keterbelakangan negara-negara berkembang, di mana kedua
aliran pendapat itu secara prinsip sangat berbeda satu dengan yang lain.
Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki pandangan yang sama, yakni menganut paham tradisional; menganggap bahwa proses pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di sebagian besar negara terhambat akibat rendahnya tingkat produktivitas yang berhubungan erat dengan tingginya kemubaziran dan ketidakefisiensian sosial. Aliran ini berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan mutlak disebabkan faktor-faktor internal. Istilah Jawa-nya karena salahe dewe.
Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki pandangan yang sama, yakni menganut paham tradisional; menganggap bahwa proses pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di sebagian besar negara terhambat akibat rendahnya tingkat produktivitas yang berhubungan erat dengan tingginya kemubaziran dan ketidakefisiensian sosial. Aliran ini berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan mutlak disebabkan faktor-faktor internal. Istilah Jawa-nya karena salahe dewe.
Adapun
aliran yang lain, ialah aliran radikal, memandang kemiskinan dan
keterbelakangan suatu negara (terutama negara ketiga) disebabkan oleh
kondisi internasional, yakni adanya eksploitasi negara-negara maju
terhadap negara-negara berkembang. Namun, dalam hal ini saya beranggapan
bahwa teori ini cenderung selalu mencari kambing hitam. Pepatah
Melayu-nya, "karena awak tak bisa menari, lantai pula yang disalahkan".
Etos Korea
Kita semua tahu bahwa Korea dalam kurun waktu relatif singkat telah menjelma menjadi masyarakat modern, yaitu masyarakat yang telah mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada kehidupan agraris.
Kemajuan
Korea ini telah membuat banyak orang berdecak, terpukau seperti melihat
keajaiban sebuah mukjizat. Para pakar bertanya-tanya, resep apa
gerangan yang telah membuat bangsa yang terubah menjadi negara dan
bangsa yang makmur?
Sejak awal tahun 1970-an pihak Pemerintah Korea dalam rangka semangat pembangunan nasional telah berusaha membentuk tipe manusia Korea yang memiliki empat kualitas. Pertama, “sikap rajin bekerja“. Lebih menghargai bekerja secara tuntas betapa pun kecilnya pekerjaan itu, tinimbang pidato yang muluk-muluk tetapi tiada pelaksanaannya.
Sejak awal tahun 1970-an pihak Pemerintah Korea dalam rangka semangat pembangunan nasional telah berusaha membentuk tipe manusia Korea yang memiliki empat kualitas. Pertama, “sikap rajin bekerja“. Lebih menghargai bekerja secara tuntas betapa pun kecilnya pekerjaan itu, tinimbang pidato yang muluk-muluk tetapi tiada pelaksanaannya.
Kedua, “sikap hemat“, yang tumbuh sebagai buah dari sikap rajin bekerja tadi. Ketiga, “sikap self-help“, yang didefinisikan sebagai berusaha mengenali diri sendiri dengan perspektif yang lebih baik, lebih jujur, dan lebih tepat; berusaha mengembangkan sifat mandiri dan rasa percaya diri. Keempat, “kooperasi atau kerja sama”, cara untuk mencapai tujuan secara efektif dan rasional, dan mempersatukan individu serta masyarakatnya.
Inilah picu laras yang memacu jiwa kerja bangsa Korea. Bila kita perhatikan, keempat butir nilai itu sesungguhnya adalah nilai luhur bangsa Indonesia. “Rajin pangkal pandai…” dan “sedikit bicara banyak kerja” adalah pepatah yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.
Adapun nilai self-help, mandiri, sudah lama melekat dalam nilai religi sebagian besar masyarakat Indonesia, karena Tuhan Yang Maha Esa dalam Al Quran menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa, kecuali bangsa itu mengubah nasibnya sendiri.
Sedangkan setiap usaha mengubah nasib, baik itu membuahkan hasil ataupun tidak, Islam telah memberinya nilai tambah; digolongkan pada perbuatan ibadah. Sementara sifat yang terakhir, kooperasi, adalah sendi-sendi budaya Indonesia yang amat menonjol. Kooperasi atau gotong royong tetap dipelihara dan dilestarikan.
Burung garuda
Sebagai penutup, saya ingin sedikit mendongeng tentang seekor anak burung garuda yang tertangkap dan dipelihara oleh seorang pemburu. Dari hari ke hari dia hanya bermain di halaman rumah; bersama-sama ayam kampung. Lalu pada suatu hari lewatlah seorang ahli unggas. Sang zoologist itu terkejut.
”Ah!” pikir sang ahli unggas itu terheran-heran. ”Sungguh mengherankan burung garuda itu!” ujarnya kepada pemburu.
”Dia
bukan burung garuda lagi. Nenek moyangnya mungkin garuda, tetapi dia
kini tidak lebih dari ayam-ayam sayur!” balas sang pemburu mantap.
”Tidak! Menurutku dia burung garuda, dan memang burung garuda!” bantah si ahli unggas itu.
Burung garuda ditangkap, lalu diapungkan ke atas udara. Garuda mengepak, lalu terjatuh.
”Betul, kan?” ujar si pemburu. ”Dia bukan garuda lagi!”
Burung garuda ditangkap, lalu diapungkan ke atas udara. Garuda mengepak, lalu terjatuh.
”Betul, kan?” ujar si pemburu. ”Dia bukan garuda lagi!”
Kembali
si ahli unggas itu menangkap garuda, dan mengapungkannya lagi. Kembali
garuda mengepak, lalu turun kembali. Si pemburu kembali mencemooh dan
semakin yakin garuda telah berubah menjadi ayam.
Dengan
penuh penasaran si ahli unggas memegang burung itu, lalu dengan lembut
membelai punggungnya, seraya dengan tegas membisikkan: ”Garuda, dalam
tubuhmu mengalir darah garuda yang perkasa. Kepakkanlah sayapmu,
terbanglah membubung tinggi, lihatlah alam raya yang luas yang amat
indah. Terbanglah! Membubunglah!” Burung dilepas, dia mengepak. Semula
tampak kaku, kemudian tambah mantap, akhirnya garuda melesat membubung
tinggi, karena dia memang garuda.
Nah,
barangkali cerita ini ada persamaannya dengan bangsa Indonesia. Bukti
kejayaan masa lampau telah membuat mata dunia takjub. Borobudur satu
bukti karya perkasa. Kini camkanlah bahwa Anda sekalian mampu, Anda
punya kemampuan. Korea saja bisa, apalagi Indonesia.
Koh Young HunProfesor di Program Studi Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea
Tidak ada komentar:
Posting Komentar