ETIKA
INDEPENDENSI
Demokrasi
Tuhan terhadap Hakekat Manusia
Analogi sederhana, kalau kita ingin
tahu tentang mobil, maka bertanyalah pada yang membuat mobil. Kita akan tahu,
apa saja kerangka penyusunnya, dan apa tujuan pembuat mengadakan mobil tersebut.
tapi secara subjektif, yang kita lihat
dari luar mobil itu bangun yang
bentuknya tergantung pada yang membuat. Dan setelah masuk, ada banyak ruang
kosong yang tentunya mengikuti postur mobil.
Metafora dari analogi di atas,
adalah pada penciptaan manusia. untuk melepas unsur subjektivitas,berbicara
tentang manusia ya dengan wawncara
pada penciptanya. Inilah, yang dilakukan
malaikat ketika mendengar Tuhan akan menciptakan makhluk baru, pada waktu itu
Tuhan sebut dengan kata “Kholifah”
bukan dengan kata manusia. Bertanya malaikat pada Tuhan “ kenapa engkau
akan ciptakan di bumi makhluk yang akan menyebabkan kerusakan dan pertumpahan darah padahal, kami selalu
bertasabih kepadaMu?” Jawaban yang cukup menggelitik dari Tuhan, “ Sesungguhnya
aku tahu apa yang tidak engkau tahu.”
Dari hasil dialog tersebut, saya
menangkap karakter yang ada pada manusia
adalah manusia sebagai kholifah, sesuai dengan firman penciptanya, Inniy Jailun fil Ardhi Kholifah. Dan
manusia sebagai perusak dan penumpah darah . Namun, penggalian esensi diri ini,
secara pribadi saya tertantang dengan kata Inniy
a’lamu ma la ta’lamun. Apa yang Tuhan sembunyikan dengan menggunakan kata Aku tahu? Adakah esensi lain, yang
dimisterikan, selain yang diketahui malaikat, bahwa manusia sebagai perusak?
Bukan bermaksud membaca pemikiran
Tuhan. Sebelum terciptanya bumi, Tuhan
tentu sudah memiliki kehendak bahwa aka ada penghuni di dalamnya. Yang mewakili
dzatNya untuk mengatur seluruh isi bumi. Sesuai dengan sifatNya yang kekal, munculnya kehendak akan
penciptaan kholifah, mustahil Tuhan memikirkan setelah bumi itu ada. Karena itu
menunjukkan ketidak kekalan Tuhan itu sendiri. Dia telah memiliki perubahan
dalam kehendakNya. Terlebih muncul karena
mahluk yang ia ciptakan sendiri.
Tuhan jauh dari hukum sebab akibat, maka kehendak penciptaan manusia sebagai
pengatur bumi, entah dengan keterengan waktu bagaimana, jelasnya kehendak akan
penciptaan bumi dan kehendak akan adanya kholifah di dalamnya, muncul secara
bersama. Dengan bahasa lain, bukan disebabkan Tuhan melihat bumi kosong
(Al-Ghazali:
Berbeda dengan kepemimpinan dalam
sistemik politik, yang mana pemimpin dipilih dengan melihat kemampuan, kholifah fil Ard adalah orang yang telah
diberi kemampuan untuk memimpin. dan memiliki kewajiban menjalankan
kepemimpinnya. Tuhan sangat demokratis dengan member bekal, member otonom
bagaimana memfungsikan bekal, dan lebih demokratis lagi Tuhan yang member
kepercayaan, maka Tuhan yang berhak menuntut terhadap Pertanggung jawabannya.
Singkatnya manusia memiliki
Independensi diri,dalam mengatur tanggung jawabnya. Jika kembali pada analogi
mobil di atas, Tuhan tidak memberi alat
kendali pada manusia, seperti halnya sopir pada mobil. Karena masing-masing
manusia telah diberi independensi, maka tidak ada manusia yang bertanggung
jawab terhadap manusia yang lain. Manusia berdiri sendiri, tanggung jawabnya
hanya pada Tuhan.
Dari konsep independensi tersebut,
maka substansi mendasar yang dimiliki
oleh manusia adalah Nurani, atau saya istilahakan dengan Etika Independensi. Etika yang menjadi bekal kepemimpinan. Etika
yang bearasal dari konsep dirinya sendiri dalam memberi penilaian terhadap
kehidupan. Jika selama hidupnya ada nilai lain yang menjadi paradigma dalam
hidupnya, maka nilai tersebut hanya tekanan dari lingkungan yang berada di luar
manusia. Maka ketika manusia mengikutinya, diakui atau tidak secara psikis akan
muncul adanya penolakan dari nurani manusia. namun nilai-nilai sistemik
tersebut, yang saya istilahkan dengan Etika
kolektif telah memenjarakan etika independensi mereka, dengan ancaman
konsekuensi berupa hukum masyarakat. Kalau manusia diciptakan sebagai pemimipin
dan memiliki bekal nurani yang telah berisi nilai dari Tuhan, kenapa harus
mengikti ide-ide sistemik yang bersasal dari luar dirinya. Kalau pada ahirnya,
manusia yang bertanggung jawab atas semua tingkahnya, kenapa harus memilih
pemimpin di luar dirinya, dan mengikuti ideologi yang diciptakan bersama,
karena jika itu salah di mata Tuhan, meskipun hanya sebagai pengikut, hukuman
Tuhan tetap berlaku. Jadi, berani saya katakana bahwa etika lingkungan harus
dihindari jika manusia tetap ingin mempertahankan independensinya.
Selama manusia belum mampu keluar
dari etika sistemik, maka saat itu manusia tidak mampu untuk merdeka. Ia hanya
menjadi boneka dari lingkungabutnnya.
Dan pencapaian kebutuhannya terhadap aktualisasi diri, sesungguhnya
adlah semu. Dia bukan mengaktualisasikan diri, tapi dia hanya jadi cermin
terhadap aktualisasi lingkungan yang menguasainya. Maka, ketika manusia ingin
mengejar eksistensi, bukan dengan cara mengikutu gerak waktu yang sejatinya
digerakkan oleh yang di luar dirinya, dan buka dengan menempati ruang yang
kebanyakan di sana manusia memiliki peran tidak sesuai dengan pribadinya.
Melainkan manusia harus mampu keluar dari pergerakan alur dan waktu tersebut,
dengan mampu mengerakkan alur dan waktu seseuai dengan etika yang dimilikinya.
Jadi, aktualisasi diri dinyatakan tercapai ketika manusia telah mampu
mengeksistensikan substansinya.
Untuk mampu keluar dari etika yang
tekolektifkan, maka langkahnya adalah, manusia harus berhenti menjadi alat dari
tujuan orang lain dan mengejar apa yang menjadi tujuan sendiri. Untuk itu, saya
berani menolak, konsep manusia sebagai makhluk sosial. Karena konsep ini bukan
membawa manusia untuk saling berkorban antara yang satu dengan yang lain,
melainkan hanya jadi ajang manusia saling dikorbankan untuk kepentingan masing-masing.
Kata “sosial”, telah memberi paradigma bahwa kebenaran adalah ketika mampu
menghanguskan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain.
Disebut sebagai makhluk sosial, akan
menjadikan menjadikan manusia sebagai pengemis. Ia akan menjadi produk zaman,
ia hanya diperbudak padahal ia diciptakan sebagai pemimpin, ia dibatasi
kebebasan berfikirnya padahal Tuhan menciptakan ia sebagai makhluk yang
berfikir, ia dipaksa untuk bertindak yang bertentangan dengan penilaian
rasionalnya sendiri, padahal Tuhan telah memberi dia nurani ebagai tolak ukur
akan nilai benar dan salah.
Manusia sosial hanya menciptakan
antara keputusan dan kebutuhan fitrah manusia. dan itu bukan kelompok sosial
melainkan massa yang dipersatukan oleh kekuasaan geng terlembaga. Manusia
sosial menghancurkan semua nilai kehidupan bersama manusia, tidak punya
justifikasi dan menggambarkan, bukan sumber nilai manfaat, melainkan ancaman
mematatikan bagi kelangsungan hidup manusia.
Tuhan melarang manusia untuk bunuh
diri. Tapi, manusia sosial menuntut mereka untuk mengorbankan diri. Pengorbanan
adalah penyerahan suatu nilai yang lebih besar demi nilai yang lebih kecil,
atau bahkan bisa disebut bukan nilai. Sebagai ilustrasi, manusia akan berkorban
untuk kepentingan cintanya. Padahal itu bukanlah pengorbanan untuk orang yang
ia cintai, melainkan ia hanya berkorban untuk kepentingan pribadinya karena
belum siap untuk ditinggalkan. Inilah yang saya maksud, dia rela mengorbankan
nilai harga dirinya, untuk hal yang berda di luar dirinya. Manusia punya
potensi untuk hidup sendiri, buktinya mereka punya kemampuan untuk berkorban
demi orang lain. Tetapi etika kolektif, menjadikan mereka hidup untuk orang
lain.
Kebajikan yang terlibat dalam
membantu orang yang dicintai, bukanlah pengorbanan. Melainkan lebih tepatnya
adalah integritas. Integritas adalah kesetiaan pada keyakinan dan nilai-nilai
sendiri. Ia adalah kebijakan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai orang
itu sendiri, kebijakan untuk mengekspresikan, mendukung dan menerjemahkan nilai-nilai
itu kedalam realitas.
Lalu bagaimana mengistilahkan
pemberian kepada orang asing? Itulah yang disebut dengan rasa hormat dan
kemauan baik atas nama nilai yang ada dalam dirinya sampai atau kecuali dia
kehilangan niali itu. Muhamad diutus tidak untuk belajar akhlak pada
lingkungannya, tetapi dia diutus dengan membawa bekal akhlak di dalam dirinya.
Seorang manusia rasional tidak lupa
bahwa kehidupan adalah sumber semua nilai dan karena itu ikatan umum antara
sesame makhluk adalah dengan menganggap bahwa orang lain sevara potensial dapat
mencapai kebajikan yang sama sebagaimana kebajikan dia sendiri dan dengan
demikian sangat bernilai bagi dia.
Ini berarti bahwa dia tidak berfikir
kehidupan manusia bisa saling dipertukarkan dengan kehidupan dia sendiri. Dia
mengakui fakta bahwa kehidupannya sendiri adalah sumber, bukan hanya bagi semua
nilai-nilainya, tapi bagi kemampuannya untuk member penilaian. Karena itu,
nilai yang ia berikan pada orang lain hanya merupakan suatu konsekuensi, suatu
eksistensi, dan suatu proyeksi sekunder dari nilai primer yang tidak lain
adalah diri dia sendiri.
Dia sendiri, saya tegaskan bahwa
untuk mencapai eksistensi, menjadi dia sendiri tidak dengan membawa ide
kolektif. Mengikuti ide kolektif manusia hanya akan diakui oleh ranah yang
semu, ranah yang sebenarnya adalah ketika manusia mamapu menyelami apa yang ada
dalam palung dirinya. Sebuah sisi spiritual, yang saya lebih suka sebut sebagai
nurani. Ranah semu dari ide kolektif memang menjadikan manusia diakau. Tapi itu
adalah tempat yang sesat. Ranah yang bukan menjadikan manusia bereksistensi.
Namun sebagai objek yang tubuhnya dipinjam untuk mengeksistensikan yang lain. Mereka
bukan menjadi diri sendiri tapi terdoktrin untuk membentuk diri sesuai ide
kolektif. Eksistensi adalah ketika tubuh dan jiwa menjadi satu. Bukan ketika
tubuh melakukan afektif tertentu. Tapi nurani menolaknya.
Manusia tidak pernah memiliki ide bawaan, tapi ide
kolektif telah menormakan mereka untuk mengenakannya. Ide bawaan atau rasisme
yang mengaitkan signifikansi moral dengan garis keturunan genetis
seseorang,gagasan bahwa cirri karakterologis dan intelektual seseorang
dihasilkan dan diwriskan oleh kimia tubuh internalnya mengakibatkan sesorang
dihakimi, bukan dengan karakter dan tindakannya sendiri, tapi dengan karakter
dan tindakan kolektif nenek moyang ini sama saja ide bawaan, bukan hanya
mewariskan ide tapi mewariskan dosa.
Rasisme mengklaim bahwa isi pikiran manusia adalahh
diwariskan, bahwa keyakinan, nilai dan karakter seseorang ditentukan sebelum
dia lahir, oleh factor-faktor fisik di luar kontrolnya. Inilah yang mematikan
sifat-sifat spesifik yang membedakan manusia dari semua spesiesnya. Dengan cara
mematikan rasionalanya Baik dan buruk manusia bukan dinilai dari dirinya saat
itu tapi dilihat dari silsilah keluarganya. Inilah yang saya maksud bahwa dia
tidak bereksistensi, dengan ide kolektif manusia hanya mengeksistensikan
ide-ide kelompok dan ide nenek moyang, padahal Tuhan juga member dia nilai.
Manusia terlahir secara Tabula Rasa, mereka adalah latar putih.
Dalam penciptaannya Tuhan telah membekali dengan sisi spiritual. Tapi
lingkungan ada yang baik dan yang buruk. Bukan karena Tuhan menciptkan mereka
buruk. Tapi karena konsep nilai etika setiap manusia bukan untuk dikolektifkan,
tapi untuk dijalankan secara independen dari yang ia pikirkan.
Ketika
kamu mengikuti pemikiran orang lain, maka sejak saat itulah kamu menjauh dari
dirimu sendiri. Tetapi sekalipun kamu sudah mengikuti apa yang menjadi jalan
pikirmu. Kamu belumlah bisa disebut sebagai kamu. Itu masih proses menuju kamu.
Dengan kata lain, itu hanya sekedar mengkamu..
Itulah
spasi anata hakekat dan eksistensi manusia. eksistensi hanyalah jembatan, dan
belum mencapai siapa sebenarnya manusia. karena di dalam eksistensi masih terdapat
proses yang mana eksistensi sendiri bukanlah garis ahir. Ada waktu yang
senantiasa bergerak, dan ruang yang senantiasa meluas.
Aku
adalah aku ketika aku keluar dari
eksistensiku, yaitu di saat ruang dan waktu tidak lagi menjadi pengendali.
Diskusi
Filsafat Manusia
Dibedah
Dari Buku “Kebajikan sang Diri”
Download Asli
Download Asli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar