Senin, 01 Oktober 2012

ETIKA INDEPENDENSI, Demokrasi Tuhan terhadap Hakekat Manusia


ETIKA INDEPENDENSI
Demokrasi Tuhan terhadap Hakekat  Manusia
            Analogi sederhana, kalau kita ingin tahu tentang mobil, maka bertanyalah pada yang membuat mobil. Kita akan tahu, apa saja kerangka penyusunnya, dan apa tujuan pembuat mengadakan mobil tersebut. tapi secara subjektif, yang  kita lihat dari luar mobil itu  bangun yang bentuknya tergantung pada yang membuat. Dan setelah masuk, ada banyak ruang kosong yang tentunya mengikuti postur mobil.
            Metafora dari analogi di atas, adalah pada penciptaan manusia. untuk melepas unsur subjektivitas,berbicara tentang manusia ya dengan wawncara pada penciptanya.  Inilah, yang dilakukan malaikat ketika mendengar Tuhan akan menciptakan makhluk baru, pada waktu itu Tuhan sebut dengan kata “Kholifah” bukan dengan kata manusia. Bertanya malaikat pada Tuhan “ kenapa engkau akan ciptakan di bumi makhluk yang akan menyebabkan kerusakan dan  pertumpahan darah padahal, kami selalu bertasabih kepadaMu?” Jawaban yang cukup menggelitik dari Tuhan, “ Sesungguhnya aku tahu apa yang tidak engkau tahu.”
            Dari hasil dialog tersebut, saya menangkap karakter yang  ada pada manusia adalah manusia sebagai kholifah, sesuai dengan firman penciptanya, Inniy Jailun fil Ardhi Kholifah. Dan manusia sebagai perusak dan penumpah darah . Namun, penggalian esensi diri ini, secara pribadi saya tertantang dengan kata Inniy a’lamu ma la ta’lamun. Apa yang Tuhan sembunyikan dengan menggunakan kata Aku tahu? Adakah esensi lain, yang dimisterikan, selain yang diketahui malaikat, bahwa manusia sebagai perusak?
            Bukan bermaksud membaca pemikiran Tuhan.  Sebelum terciptanya bumi, Tuhan tentu sudah memiliki kehendak bahwa aka ada penghuni di dalamnya. Yang mewakili dzatNya untuk mengatur seluruh isi bumi. Sesuai dengan sifatNya  yang kekal, munculnya kehendak akan penciptaan kholifah, mustahil Tuhan memikirkan setelah bumi itu ada. Karena itu menunjukkan ketidak kekalan Tuhan itu sendiri. Dia telah memiliki perubahan dalam kehendakNya. Terlebih muncul karena
mahluk yang ia ciptakan sendiri. Tuhan jauh dari hukum sebab akibat, maka kehendak penciptaan manusia sebagai pengatur bumi, entah dengan keterengan waktu bagaimana, jelasnya kehendak akan penciptaan bumi dan kehendak akan adanya kholifah di dalamnya, muncul secara bersama. Dengan bahasa lain, bukan disebabkan Tuhan melihat bumi kosong (Al-Ghazali:
            Berbeda dengan kepemimpinan dalam sistemik politik, yang mana pemimpin dipilih dengan melihat kemampuan, kholifah fil Ard adalah orang yang telah diberi kemampuan untuk memimpin. dan memiliki kewajiban menjalankan kepemimpinnya. Tuhan sangat demokratis dengan member bekal, member otonom bagaimana memfungsikan bekal, dan lebih demokratis lagi Tuhan yang member kepercayaan, maka Tuhan yang berhak menuntut terhadap Pertanggung jawabannya.
            Singkatnya manusia memiliki Independensi diri,dalam mengatur tanggung jawabnya. Jika kembali pada analogi mobil di atas, Tuhan tidak  memberi alat kendali pada manusia, seperti halnya sopir pada mobil. Karena masing-masing manusia telah diberi independensi, maka tidak ada manusia yang bertanggung jawab terhadap manusia yang lain. Manusia berdiri sendiri, tanggung jawabnya hanya pada Tuhan.
            Dari konsep independensi tersebut, maka substansi  mendasar yang dimiliki oleh manusia adalah Nurani, atau saya istilahakan dengan Etika Independensi. Etika yang menjadi bekal kepemimpinan. Etika yang bearasal dari konsep dirinya sendiri dalam memberi penilaian terhadap kehidupan. Jika selama hidupnya ada nilai lain yang menjadi paradigma dalam hidupnya, maka nilai tersebut hanya tekanan dari lingkungan yang berada di luar manusia. Maka ketika manusia mengikutinya, diakui atau tidak secara psikis akan muncul adanya penolakan dari nurani manusia. namun nilai-nilai sistemik tersebut, yang saya istilahkan dengan Etika kolektif telah memenjarakan etika independensi mereka, dengan ancaman konsekuensi berupa hukum masyarakat. Kalau manusia diciptakan sebagai pemimipin dan memiliki bekal nurani yang telah berisi nilai dari Tuhan, kenapa harus mengikti ide-ide sistemik yang bersasal dari luar dirinya. Kalau pada ahirnya, manusia yang bertanggung jawab atas semua tingkahnya, kenapa harus memilih pemimpin di luar dirinya, dan mengikuti ideologi yang diciptakan bersama, karena jika itu salah di mata Tuhan, meskipun hanya sebagai pengikut, hukuman Tuhan tetap berlaku. Jadi, berani saya katakana bahwa etika lingkungan harus dihindari jika manusia tetap ingin mempertahankan independensinya.
            Selama manusia belum mampu keluar dari etika sistemik, maka saat itu manusia tidak mampu untuk merdeka. Ia hanya menjadi boneka dari lingkungabutnnya.  Dan pencapaian kebutuhannya terhadap aktualisasi diri, sesungguhnya adlah semu. Dia bukan mengaktualisasikan diri, tapi dia hanya jadi cermin terhadap aktualisasi lingkungan yang menguasainya. Maka, ketika manusia ingin mengejar eksistensi, bukan dengan cara mengikutu gerak waktu yang sejatinya digerakkan oleh yang di luar dirinya, dan buka dengan menempati ruang yang kebanyakan di sana manusia memiliki peran tidak sesuai dengan pribadinya. Melainkan manusia harus mampu keluar dari pergerakan alur dan waktu tersebut, dengan mampu mengerakkan alur dan waktu seseuai dengan etika yang dimilikinya. Jadi, aktualisasi diri dinyatakan tercapai ketika manusia telah mampu mengeksistensikan substansinya.
            Untuk mampu keluar dari etika yang tekolektifkan, maka langkahnya adalah, manusia harus berhenti menjadi alat dari tujuan orang lain dan mengejar apa yang menjadi tujuan sendiri. Untuk itu, saya berani menolak, konsep manusia sebagai makhluk sosial. Karena konsep ini bukan membawa manusia untuk saling berkorban antara yang satu dengan yang lain, melainkan hanya jadi ajang manusia saling dikorbankan untuk kepentingan masing-masing. Kata “sosial”, telah memberi paradigma bahwa kebenaran adalah ketika mampu menghanguskan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain.
            Disebut sebagai makhluk sosial, akan menjadikan menjadikan manusia sebagai pengemis. Ia akan menjadi produk zaman, ia hanya diperbudak padahal ia diciptakan sebagai pemimpin, ia dibatasi kebebasan berfikirnya padahal Tuhan menciptakan ia sebagai makhluk yang berfikir, ia dipaksa untuk bertindak yang bertentangan dengan penilaian rasionalnya sendiri, padahal Tuhan telah memberi dia nurani ebagai tolak ukur akan nilai benar dan salah.
            Manusia sosial hanya menciptakan antara keputusan dan kebutuhan fitrah manusia. dan itu bukan kelompok sosial melainkan massa yang dipersatukan oleh kekuasaan geng terlembaga. Manusia sosial menghancurkan semua nilai kehidupan bersama manusia, tidak punya justifikasi dan menggambarkan, bukan sumber nilai manfaat, melainkan ancaman mematatikan bagi kelangsungan hidup manusia.
            Tuhan melarang manusia untuk bunuh diri. Tapi, manusia sosial menuntut mereka untuk mengorbankan diri. Pengorbanan adalah penyerahan suatu nilai yang lebih besar demi nilai yang lebih kecil, atau bahkan bisa disebut bukan nilai. Sebagai ilustrasi, manusia akan berkorban untuk kepentingan cintanya. Padahal itu bukanlah pengorbanan untuk orang yang ia cintai, melainkan ia hanya berkorban untuk kepentingan pribadinya karena belum siap untuk ditinggalkan. Inilah yang saya maksud, dia rela mengorbankan nilai harga dirinya, untuk hal yang berda di luar dirinya. Manusia punya potensi untuk hidup sendiri, buktinya mereka punya kemampuan untuk berkorban demi orang lain. Tetapi etika kolektif, menjadikan mereka hidup untuk orang lain.
            Kebajikan yang terlibat dalam membantu orang yang dicintai, bukanlah pengorbanan. Melainkan lebih tepatnya adalah integritas. Integritas adalah kesetiaan pada keyakinan dan nilai-nilai sendiri. Ia adalah kebijakan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai orang itu sendiri, kebijakan untuk mengekspresikan, mendukung dan menerjemahkan nilai-nilai itu kedalam realitas.
            Lalu bagaimana mengistilahkan pemberian kepada orang asing? Itulah yang disebut dengan rasa hormat dan kemauan baik atas nama nilai yang ada dalam dirinya sampai atau kecuali dia kehilangan niali itu. Muhamad diutus tidak untuk belajar akhlak pada lingkungannya, tetapi dia diutus dengan membawa bekal akhlak di dalam dirinya.
            Seorang manusia rasional tidak lupa bahwa kehidupan adalah sumber semua nilai dan karena itu ikatan umum antara sesame makhluk adalah dengan menganggap bahwa orang lain sevara potensial dapat mencapai kebajikan yang sama sebagaimana kebajikan dia sendiri dan dengan demikian sangat bernilai bagi dia.
            Ini berarti bahwa dia tidak berfikir kehidupan manusia bisa saling dipertukarkan dengan kehidupan dia sendiri. Dia mengakui fakta bahwa kehidupannya sendiri adalah sumber, bukan hanya bagi semua nilai-nilainya, tapi bagi kemampuannya untuk member penilaian. Karena itu, nilai yang ia berikan pada orang lain hanya merupakan suatu konsekuensi, suatu eksistensi, dan suatu proyeksi sekunder dari nilai primer yang tidak lain adalah diri dia sendiri.
            Dia sendiri, saya tegaskan bahwa untuk mencapai eksistensi, menjadi dia sendiri tidak dengan membawa ide kolektif. Mengikuti ide kolektif manusia hanya akan diakui oleh ranah yang semu, ranah yang sebenarnya adalah ketika manusia mamapu menyelami apa yang ada dalam palung dirinya. Sebuah sisi spiritual, yang saya lebih suka sebut sebagai nurani. Ranah semu dari ide kolektif memang menjadikan manusia diakau. Tapi itu adalah tempat yang sesat. Ranah yang bukan menjadikan manusia bereksistensi. Namun sebagai objek yang tubuhnya dipinjam untuk mengeksistensikan yang lain. Mereka bukan menjadi diri sendiri tapi terdoktrin untuk membentuk diri sesuai ide kolektif. Eksistensi adalah ketika tubuh dan jiwa menjadi satu. Bukan ketika tubuh melakukan afektif tertentu. Tapi nurani menolaknya.
Manusia tidak pernah memiliki ide bawaan, tapi ide kolektif telah menormakan mereka untuk mengenakannya. Ide bawaan atau rasisme yang mengaitkan signifikansi moral dengan garis keturunan genetis seseorang,gagasan bahwa cirri karakterologis dan intelektual seseorang dihasilkan dan diwriskan oleh kimia tubuh internalnya mengakibatkan sesorang dihakimi, bukan dengan karakter dan tindakannya sendiri, tapi dengan karakter dan tindakan kolektif nenek moyang ini sama saja ide bawaan, bukan hanya mewariskan ide tapi mewariskan dosa.
Rasisme mengklaim bahwa isi pikiran manusia adalahh diwariskan, bahwa keyakinan, nilai dan karakter seseorang ditentukan sebelum dia lahir, oleh factor-faktor fisik di luar kontrolnya. Inilah yang mematikan sifat-sifat spesifik yang membedakan manusia dari semua spesiesnya. Dengan cara mematikan rasionalanya Baik dan buruk manusia bukan dinilai dari dirinya saat itu tapi dilihat dari silsilah keluarganya. Inilah yang saya maksud bahwa dia tidak bereksistensi, dengan ide kolektif manusia hanya mengeksistensikan ide-ide kelompok dan ide nenek moyang, padahal Tuhan juga member dia nilai.

            Manusia terlahir secara Tabula Rasa, mereka adalah latar putih. Dalam penciptaannya Tuhan telah membekali dengan sisi spiritual. Tapi lingkungan ada yang baik dan yang buruk. Bukan karena Tuhan menciptkan mereka buruk. Tapi karena konsep nilai etika setiap manusia bukan untuk dikolektifkan, tapi untuk dijalankan secara independen dari yang ia pikirkan.
Ketika kamu mengikuti pemikiran orang lain, maka sejak saat itulah kamu menjauh dari dirimu sendiri. Tetapi sekalipun kamu sudah mengikuti apa yang menjadi jalan pikirmu. Kamu belumlah bisa disebut sebagai kamu. Itu masih proses menuju kamu. Dengan kata lain, itu hanya sekedar mengkamu..
Itulah spasi anata hakekat dan eksistensi manusia. eksistensi hanyalah jembatan, dan belum mencapai siapa sebenarnya manusia. karena di dalam eksistensi masih terdapat proses yang mana eksistensi sendiri bukanlah garis ahir. Ada waktu yang senantiasa bergerak, dan ruang yang senantiasa meluas.
            Aku adalah aku ketika aku keluar dari eksistensiku, yaitu di saat ruang dan waktu tidak lagi menjadi pengendali.
Diskusi Filsafat Manusia
Dibedah Dari Buku “Kebajikan sang Diri”

Download Asli


Tidak ada komentar:

Posting Komentar