بسم الله الرحمن الرحيم
المرجئة
MURJI’AH
I. PENGERTIAN
Murji’ah secara etimologi memiliki arti :
3. Angan-angan
4. Memberi
5. Mengharap.
Firman
Allah Ta’ala dalam surat An Nisa’, ayat 104:
وَتَرْجُوْنَ مِنَ
الله ِمَالَا يَرْجُوْنَ
“Sedang kamu mengharap dari Allah apa yang
tidak mereka harapkan."
Dan firman-Nya dalam Surat Nuh, ayat 13:
مَا لَكُمْ لَا
تَرْجُوْنَ لله َوَقَارًا
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran
Allah."
Al
Azhari menyebutkan perihal kata-kata Raja’ yang mempunyai arti
‘takut’ yaitu apabila lafadz Raja’
bersama dengan huruf nafi.
ٍSedangkan kata-kata Irja’ yang mempunyai
arti takhir (mengakhirkan) sebagaimana dalam firman-Nya surat Al
a’raaf:111 yang dibaca arjikhu yaitu akhirhu.[3]
Secara
terminologi para ulama berbeda pendapat tentang ketepatan dalam
mengartikan kalimat Murji’ah,
secara ringkas kalimat Murji’ah adalah:
1.
Al
Irja’ : Mengakhirkan amal dari Iman.
Al
Bagdadi berkata : “Mereka dikatakan Murji’ah dikarenakan mereka mengakhirkan
amal dari pada iman.”[4]
Alfayaumy
berkata: “Mereka adalah orang-orang yang tidak memberi hukuman kepada
seseorang di dunia akan tetapi mereka
mengakhirkan hukuman tersebut hingga datangnya hari kiamat.”[5]
2. Irja’
diambil dari bahasa yang berarti “takhir dan imhal“ (mengakhirkan dan meremehkan). Irja’
semacam ini adalah irja’ (mengakhirkan) amal dalam derajat
iman serta menempatkannya pada posisi
kedua berdasarkan iman dan dia bukan menjadi bagian dari iman itu
sendiri, karena iman secara majaz,
di dalamnya tercakup amal. Padahal amal
itu sebenarnya merupakan pembenar dari iman itu sendiri sebagaimana yang telah
diucapkan kepada orang–orang yang mengatakan bahwa perbuatan
maksiat itu tidak bisa membahahayakan keimanan sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat bagi orang kafir.
Pengertian seperti
ini tercakup juga di dalamnya orang-orang
yang mengakhirkan amal dari niat dan tashdiq (pembenaran).
3. Pendapat
yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan Irja’ adalah mengakhirkan hukuman kepada pelaku dosa besar
sampai datangnya hari kiamat yang mana
dia tidak akan diberi balasan atau hukuman
apapun ketika masih berada di
dunia.
4. Sebagian
mereka ada yang mengartikan
Irja’ dengan perkara yang terjadi pada Ali, yaitu dengan
memposisikan Ali pada peringkat ke-empat dalam tingkatan sahabat. Atau
mengakhirkan (menyerahkan) urusan Ali
dan Utsman kepada Allah
subhanahu wata’alla serta tidak
menyatakan bahwa mereka berdua beriman atau kafir.
Sebagian kaum Murji’ah yang lain ada yang tidak memasukkan
sebagian sahabat Nabi Muhammad SAW yang
berlepas diri dari fitnah yang terjadi
antara sahabat Ali dan Muawiyah sebagai sahabat Rasulullah SAW.[6]
II. SEJARAH
KEMUNCULAN MURJI’AH
Pada awal mulanya Irja’ muncul untuk mengcounter paham Khawarij yang mengkafirkan Hakamain [dua
orang yang memutuskan perkara dalam masalah Ali dan Muawiyah], juga untuk mengcounter Ali
bin Abi Thalib. Irja’ semacam ini
bukanlah Irja’ yang bersangkutan dengan
Iman, akan tetapi mereka hanya membicarakan tentang perkara dua kelompok yang berperang di antara
para sahabat saja.
Dalam
sejarah kemunculannya didapatkan bahwa orang yang pertama kali membicarakan masalah Irja’ adalah Al Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah,
beliau meninggal pada tahun 99 H.[7] Dan
setiap orang yang mengisahkan riwayat
hidupnya akan menyebutkan tentang
permasalahan Irja’ beliau.
Ibnu Sa’ad berkata: “Al Hasan adalah orang yang pertama kali
mengatakan tentang irja’.
Dikisahkan bahwa Zadzan dan Maisarah
datang kepadanya dan langsung mencelanya, lantaran sebuah buku
yang ia tulis tentang irja’, maka Al Hasan berkata pada Zadzan: "Wahai Abu
Umar, sungguh aku lebih suka mati dan aku dalam keadaan tidak
menulis buku tersebut.”
Buku yang ditulis oleh Al Hasan
ini hanyalah Irja’ tentang sahabat yang ikut serta dalam fitnah
(red : perselisihan) yang terjadi setelah wafatnya Syaikhani (Abu
Bakar dan Umar).
Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam buku yang telah diterbitkan menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan Irja’ yang dibawa oleh Al Hasan adalah Irja’ yang
tidak dicela oleh Ahlus Sunnah, yaitu Irja’ yang berkaitan dengan iman,
hal tersebut saya (Ibnu Hajar) tegaskan berdasarkan pada kitab yang dikarang oleh Al Hasan bin Muhammmad. Di
akhir kitab "Al Iman", karangan
Ibnu Abi Umar dikatakan: "Telah
diceritakan oleh Ibrahim bin
Uyainah dari Abdul Wahid bin Ayman bahwa
Al Hasan bin Muhammad menyuruhku untuk membacakan kitabnya kepada khalayak, yang bunyinya sebagai
berikut:
&nbrp; “Amma ba'du. Kami wasiatkan kepada Anda sekalian agar bertakwa
pada Allah, kemudian dia berwasiat
tentang kitabullah dan agar mengikutinya
serta menyebutkan keyakinannya lalu dia berkata pada akhir-akhir wasiatnya: "Kami telah
mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai
khalifah dan kami berjihad di masa mereka berdua, karena keduanya belum pernah dibunuh oleh ummatnya bahkan ummatnya tidak merasa ragu terhadap
urusan-urusan mereka. Sedangkan
orang–orang setelahnya yang
berselisih maka kami akhirkan (posisi)
mereka dan kami serahkan urusannya kepada
Allah ……. ."
Inilah
Irja’ yang telah dikatakan oleh
Al Hasan bin Muhammad, dan permasalahan tersebut telah dikuatkan oleh Ibnu Hajar.
Kejadian
tersebut di atas mengilhami beliau (Ibnu Hajar) untuk menulis suatu karangan
yang berjudul : “Perkara Irja’ yang
tidak berkaitan dengan iman
tidak menjadikan seseorang tercela” .[8]
III.
TOKOH-TOKOH FAHAM MURJI’AH.
Beberapa buku dan keterangan para ulama menyatakan bahwa di antara tokoh-tokoh faham
Murji’ah adalah sebagai berikut :
1.
Al Hasan bin Muhammad bin
Al Hanafiyah
2.
Ghiilan
4.
Abu Hanifah
IV. POKOK PEMIKIRAN DAN AQIDAH MURJI’AH
- Iman itu adalah tashdiq saja atau pengetahuan hati saja atau iqrar saja.
- Amal itu tidak masuk dalam hakekat iman dan tidak pula masuk dalam bagiannya.
- Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
- Orang yang berbuat maksiat tetap dikatakan Mu’min kamilul Iman ( mukmin yang sempurna imannya) sebagaimana sempurnanya tashdiq mereka (tidak dapat tergoyahkan dengan apapun) dan di akhirat kelak ia tidak akan masuk neraka.
- Manusia itu pencipta amalnya sendiri dan Allah tidak dapat melihatnya diakhirat nanti. (Ini seperti pemahaman Mu’tazilah)
- Sesungguhnya Imamah itu tidak wajib, kalaupun Imamah itu ada, maka Imamnya itu boleh datang dari golongan mana saja walaupun bukan dari Quraisy. (dalam masalah ini pemahamannya seperti Khawarij).
7. Bodoh kepada Allah itu adalah kufur
kepada-Nya.[10]
Orang-orang Murji’ah mengatakan bahwa Iman adalah amalan hati saja atau amalan lisan
saja atau kedua-duanya bukan amalan yang
bermakna rukun (amalan dzahir), serta iman itu tidak bertambah dan tidak
pula berkurang. Sampai-sampai perbuatan kafir dan zindik pun tidak membahayakan bagi keimanan seorang
muslim.
Dalam madzhab Abu Hanifah iman itu hanya sampai pada pembenaran dengan hati dan mengikrarkan
dengan lisan, maka yang satu tidak berguna bagi
yang lainnya, barang siapa yang beriman dengan hatinya tapi
berdusta/kafir dengan lisannya, maka bukanlah seorang mukmin. [11]
Shahibul kitab Al Inhirafaat Al Aqdiyah wa Al
Al’amaliyah menerangkan bahwa orang-orang Murji’ah mejadikan arkanul
Islam sebagai bagian yang paling besar dari iman kepada Allah azza wa jalla
disejajarkan dengan syahidusy syuhud atau qarinah-qarinah dhahir
yang faktanya justru mereka menyelisihinya sampai-sampai terucap perkataan dari
lisan mereka: “Sesungguhnya orang yang
mencela Allah, membunuh Rasul-Nya, maka ia tetap dikategorikan sebagai orang
mukmin dan tidak akan menjadi kafir (dari sisi batin) kecuali ilmu batinnya
(iman) telah hilang dari hatinya. Apabila dikatakan kepada mereka: “Telah
datang kepada kalian Al Quran dan As sunnah yang mengkafirkan ilmu dan tashdiq
batin kalian, karena ilmu dan tashdiq kalian tidak disertai keyakinan di hati
dan ikrarkan dengan lisan”. Maka mereka menjawab: “Siapa yang dapat mendatangkan
nash/hujah yang mencounter ilmu kami? Yaitu mengcounter berdasarkan nash, bukan dengan analisa/pandangan dan pemahaman
semata!” Disamping itu kami
tetap tidak dapat mengkafirkannya meskipun kami mengetahui hukumannya secara
dhahir.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Berdasarkan keterangan di atas tampakjelas
kesalahan perkataan Jahm bin Shafwan beserta pengikutnya, mereka mengira bahwa
iman cukup hanya dengan pembenaran dan pengetahuan hati, dengan tidak
menjadikan amalan-amalan hati termasuk dari bagian iman, sehingga mereka
menyangka bahwa seseorang akan menjadi mukmin kaamilul iman hanya dengan
hati saja, di sisi lain ia mencela Allah, Rasul-Nya, melbunuh wali-wali-Nya,
loyal terhadap musuh-musuh Allah, membunuh para Nabi, menghancurkan masjid-masjid,
menghina mushaf (Al Quran), memuliakan orang-orang kafir dengan kemuliaan
sedemikian rupa, menghina orang-orang mukmin dengan kehinaan sedemikian rupa,
dengan perasaan ringan mereka mengatakan: “Semua ini adalah perbuatan maksiat
namun semua itu tidak dapat menghilangkan iman yang sudah tertancap dalam hati,
bahkan perbuatan seperti ini menurut Allah tetap dikatakan sebagai mukmin kalau
iman benar-benar sudah ada di hati.”[12]
V . PEMBAGIAN MURJI’AH
Ibnul Jauzi mengatakan
bahwa Murji’ah terbagi menjadi 11
bagian:
1. At Tarikah
Mereka mengatakan: “Tidak ada
kewajiban bagi seorang hamba kepada Allah selain hanya beriman saja. Barang siapa yang telah beriman
kepada-Nya dan telah mengenal-Nya maka dia boleh berbuat sesukanya.”
2. As Saibiah
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya Allah membiarkan hamba-Nya untuk berbuat
sesukanya.”
3. Ar Raji’ah
Mereka mengatakan: “Kami
tidak mengatakan taat bagi orang yang taat, dan juga tidak menyebut
maksiat bagi orang yang melakukan perbuatan maksiat karena kami tidak
mengetahui kedudukan mereka di sisi Allah.”
4. Asy- Syakiah
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya ketaatan itu bukanlah dari iman.”
5. Baihasyiah (nisbah pada
Baihasy bin Haisham)
Mereka mengatakan: “Iman
itu adalah ilmu, barang siapa yang tidak mengetahui yang hak dan yang batil,
juga tidak mengetahui halal dan haram maka dia telah kafir.”
6. Manqushiah
Mereka mengatakan: “Iman itu bertambah tapi tidak berkurang.”
7. Mustatsniah
Mereka adalah orang-orang yang menafikan, atau “istitsna’“ (pengecualian) dalam hal
keimanan.
8. Musyabbihah
Mereka mengatakan: “Allah mempunyai penglihatan
sebagaimana penglihatanku dan juga mempunyai tangan sebagaimana tanganku.”
9. Hasyawiah
Mereka menjadikan hukum
hadits semuanya adalah satu, dan menurut mereka
orang-orang yang meninggalkan amalan sunnah sama halnya dengan orang
yang meninggalkan amalan fardhu.
10. Dzahiriyah
Mereka adalah orang-orang yang menafikan (tidak menggunakan) qiyas.
11.Bid’iyyah
Mereka adalah orang pertama yang memulai bid’ah pada ummat ini.[13]
Ghalib
Ali Awwaji
dalam firaq muashirah membagi Murji’ah I’tiqadiyah (secara keyakinan) menjadi beberapa bagian
yang sangat banyak, akan tetapi yang beliau sebutkan hanyalah secara garis besarnya saja sebagaimana yang
telah disebutkan oleh Ulama Firaq:
1. Murji’ah sunnah
Mereka adalah para pengikut Hanafi, termasuk di
dalamnya adalah Abu Hanifah dan gurunya Hammad
bin Abi Sulaiman juga orang-orang
yang mengikuti mereka dari golongan Murji’ah
Kufah dan yang lainnya. Mereka ini adalah orang-orang
yang mengakhirkan amal dari hakekat iman.
2. Murji’ah Jabariyah
Mereka adalah Jahmiyyah (para pengikut Jahm bin Shafwan), Mereka hanya mencukupkan diri dengan keyakinan dalam
hati saja .Dan menurut mereka maksiat itu tidak berpengaruh pada iman dan bahwasanya ikrar dengan lisan dan amal bukan dari iman.
3. Murji’ah Qadariyyah
Mereka adalah orang yang dipimpin oleh Ghilan Ad
Damsyiki sebutan mereka Al Ghilaniah
4. Murji’ah Murni
Mereka adalah kelompok yang oleh para ulama
diperselisihkan jumlahnya.
5. Murj’ah
Karamiah
Mereka adalah kawan-kawan Muhammad bin Karam,
mereka berpendapat bahwa iman hanyalah ikrar dan pembenaran dengan lisan tanpa
pembenaran dengan hati
6. Murji’ah Khawarij
Mereka adalah Syabibiyyah dan sebagian kelompok
Shafariyyah yang tidak mempermasalahkan pelaku dosa besar. Al Asy’ari dalam makalahnya menghitung Murji’ah sampai
12 kelompok.[14]
Akan tetapi secara ringkas Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawaa membagi Murji’ah menjadi tiga bagian :
Pertama : Mereka yang mengatakan bahwa iman itu adalah hanya cukup di
hati saja. Kemudian sebagian dari mereka ada yang memasukkan dalam faham ini amalan hati. Mereka ini
kebanyakan berasal dari Murji’ah, dan Abu Hasan Al Asy'ari telah
menyebutkan perkataan mereka di dalam
bukunya. Di antara mereka ada juga yang tidak memasukkan amal dalam iman
seperti Jahm bin Shafwan dan orang-orang yang mengikutinya seperti Shalihi.
Faham inilah yang dimenangkan oleh Jahm dan kebanyakan sahabatnya .
Kedua : Mereka yang mengatakan
bahwa iman itu hanya ucapan
lisan saja. Dan pendapat yang kedua ini
tidak dikenal sebelum "Al Karamiyah" (Lihat pembahasan
sebelumnya).
Ketiga : Pendapat yang mengatakan bahwa iman itu adalah
pembenaran dalam hati dan diucapkan dengan lisan. Pendapat yang ketiga ini adalah pendapat ynag masyhur di
kalangan Ahli Fikih dan para
pengikutnya.[15]
VI. KECAMAN AIMMAH TERHADAP MURJI’AH
Syubhat
yang terjadi pada mereka dikarenakan keluasan ilmu yang dimiliki dan banyaknya
ibadah yang mereka lakukan serta baiknya keislaman mereka, hal ini masuk kepada
“ irja’ fuqaha’”.
Jama’ah yang tersebut di atas beranggotakan para pakar ilmu
dan ahlid dien. Oleh karena itu, tiada seorang pun dari para salaf yang
mengkafirkan Murji’ah Fuqaha’ akan
tetapi mereka hanya menjadikan hal tersebut sebagai bentuk bid’ah ucapan dan
perbuatan, bukannya bid’ah dalam hal
aqidah.
Perselisihan yang terjadi di dalamnya hanya berkisar lafadz
saja dan bahkan sebuah lafadz yang sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah
adalah dibenarkan. Maka tidak dibenarkan seseorang berkata dengan perkataan
yang bertentangan dengan perkataan Allah
dan Rasul-Nya, apalagi hal tersebut telah membuka jalan menuju bid’ah ahli
kalam yaitu dari kalangan Murji’ah dan
lain sebagainya, juga membuka
timbulnya kefasikan, maka kesalahan yang remeh dalam bentuk lafadz ini bisa menjadi sebab yang sangat besar yang berkaitan dengan aqidah dan perbuatan.
Oleh karena itu perkataan yang paling
keras dalam mengecam paham Irja’
adalah perkataan yang diucapkan oleh Ibrahim An Nakha’i terhadap fitnah yang mereka timbulkan yaitu Murji’ah dengan perkataan:
“Murji’ah lebih aku takutkan dari fitnah
Azzariqah.”
Az-Zuhri berkata:
« Tidak ada bid’ah yang lebih berbahaya dalam Islam kecuali bid’ah Irja’.”
Al-Auza’i berkata: « Yahya
bin Abi Katsir serta Qatadah mengatakan bahwa tidak ada yang lebih ditakuti oleh ummat dalam hal hawa
nafsu melebihi irja’ »
Syuraik
berkata: “Mereka adalah sejelek-jelek kaum, cukuplah Rafidlah itu disebut
jelek akan tetapi Murji’ah lebih jelek lagi karena mereka mendustakan
Allah.”
Shafyan Ats-Tsauri berkata:
“Murji’ah meninggalkan Islam lebih lembut dari pada pakaian Sabiri (jenis
pakaian).”
Al-Auza’i berkata: « Yahya
bin Abi Katsir serta Qatadah mengatakan
bahwa tiada yang lebih ditakuti oleh ummat
dalam hal hawa nafsu melebihi irja’.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata: “Para salaf telah mengkafirkan
Jahmiyah. Begitu juga Imam Ahmad dan
Waqi’ serta yang lainnya menyatakan atas
kekafiran orang yang mengatakan bahwa iman itu hanya cukup ma’rifah di
hati walaupun tidak diucapkannya.
Sedangkan para Salaf bersepakat untuk tidak mengkafirkan Murji’ah secara
total, walaupun mereka tetap membid’ahkan dan keras pernyataan tentangnya,
sebagaimana yang dikisahkan oleh Syaikhul Islam tentang mereka seraya berkata:
“Para salaf dan a’immah bersepakat untuk tidak mengkafirkan Murji’ah dan Syi’ah
Mufaddlalah (kelompok yang mendahulukan Ali dari pada Utsman) dan yang lainnya.
Sedangkan dalam kontek Imam Ahmad dinyatakan mereka tidak dikafirkan, walaupun
sebagian sahabatnya ada yang mengkafirkan seluruh ahli bid’ah dari kalangan
mereka dan sebagian sahabatnya yang lain tidak mengkafirkan, sampai-sampai
sebagian sahabatnya menyatakan kekekalan mereka di neraka, ini adalah pendapat
yang salah di dalam madzhab Imam Ahmad begitu pula menurut syari’ah.”[17]
VII.
HUJAH YANG DIGUNAKAN MURJI’AH
Murji’ah
mengambil nash sebagai dalil untuk menguatkan madzhab mereka dan menjadikan keragu-raguan pada nash tersebut,
kemudian mereka menguatkan syubhatnya
dengan taklif yang tidak
dibenarkan syari’at. Akhirnya menghasilkan kesimpulan yang dipaksa-paksakan
bahwa amal perbuatan bukan bagian dari hakekat iman. Mereka menyingkirkan
seluruh amal dari iman dan mengatakan cukuplah seseorang sudah dianggap beriman
dan sukses menggapai ridha Allah dengan cara menjadikan hati mengenal Allah dan
mempercayai-Nya.
Dengan demikian mereka telah membuka kesempatan
yang seluas-luasnya bagi para pelaku kebatilan dan pemalas untuk sekedar
berangan-angan tanpa ada amalan nyata. Mereka
adalah orang-orang yang suka berlepas diri dari nash syar’i, maka akan
engkau dapatkan Murji’ah yang ekstrim,
di antara mereka ada orang yang sangat malas dalam beribadah dan
selemah-lemahnya manusia dalam
beriltizam kepada Syariat
Islam. Mereka telah mencari dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang
mereka kira bahwa dalil tersebut menunjukkan atas keabsahan madzhab mereka, yaitu:
A. Dalil dari
Al-Qur’an:
1. Firman Allah:
إِنَّ اللهَ لا َيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآء
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.” [18]
2.
Firman Allah:
قُلْ يَاعِبَادِي الَّذِينَ
أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ
جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah:
“Hai hamba-hamba-Ku yang melampui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah,sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya, sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[19]
3. Mereka
layaknya Jahmiyyah yang telah memperhatikan pengumpulan nash yang menjadikan keimanan dan kekufuran seluruhnya terletak pada hati. Sebagaimana firman Allah:
1. أُوْلاَئِكَ كَتَبَ فِي
قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ
2. إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ
"Kecuali orang-orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)."[21]
3. خَتَمَ اللَّهُ عَلَى
قُلُوبِهِمْ
Juga masih banyak lagi ayat-ayat semisal yang
secara dhahir dalam pengertian ini yang diambil oleh orang-orang Murji’ah untuk
digunakan sebagai penguat madzhab mereka meskipun sebenarnya ayat-ayat itu
tidak cocok serta tidak sesuai dengan apa yang mereka maksudkan itu.
B. Dalil dari Sunnah
Mereka
berhujjah dengan sebagian hadits dan atsar, yang secara dhahir menunjukkan atas perintah untuk menjauhi syirik dan keberadaan iman dalam
hati seseorang untuk menggapai
kejayaan dan keridhaan Allah:
1. Rasululllah SAW bersabda:
مَنْ
مَاتَ يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئا دَخَلَ النَّارَ.
قَالَ إِبْنُ مَسْعُوْدٍ: وَقُلْتُ
أَنَّا مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِالله
ِشَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barang siapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah
dengan sesuatu maka ia akan masuk neraka”,
Ibnu Mas’ud berkata: “Saya katakan: "Barang siapa yang mati dalam
keadaan tidak menyekutukan Allah maka ia masuk Jannah.” [23]
2. Dalam hadits qudsi Rasulullah SAW
meriwayatkan dari ِAllah:
يَا
ابْنُ أَدَ مَ اِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ
بِقِرَابِ اْلَأرْضِ خَطَايًا ثُمَّ لَقَيْتَـــنِيْ لَا تُشْرِكُ بِي
شَيْئًا لَأَ تَـيْتُــكَ
بِقِرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Hai anak Adam,
sesungguhnya jika kamu mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian menemui
Aku tanpa berbuat syirik sedikit pun,
sungguh Aku akan mendatangimu dengan maghfirah yang sebanding.”[24]
3. Nabi
SAW bersabda:
اللَّهُمَّ ثّبِّتْ
قَـْلبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
“
Ya Allah, tetapkanlah hatiku pada
dien-Mu.”[25]
4. Demikian juga dalam hadits yang mengisahkan tentang seorang budak
perempuan yang ditanya oleh Rasullah SAW
dengan sabdanya: “Di mana Allah?” Maka
jawabnya: “Di langit”, Maka Rasullah SAW berkata kepada tuannya: “Bebaskanlah dia karena dia adalah
seorang Mu’minah.”[26]
5. Rasululllah
SAW bersabda:
“Taqwa itu ada di sini, seraya menunjuk pada dadanya tiga
kali.”[27]
6. Dan
termasuk dalil mereka juga ialah
tentang hadits syafa’ah dari Mushthafa SAW kepada beberapa kaum
yang kemudian Allah mengeluarkan mereka
sampai tiada sebiji atom atau
sebiji gandum atau sebiji tepung pun iman yang tersisa dalam hatinya, Di dalamnya terdapat potongan sabda beliau SAW: “Maka Allah berfirman, bahwa malaikat telah memberi
syafa’at, para Nabi pun memberi syafa’at, demikian juga para mukmin dan tiada yang tertinggal kecuali pasti memberikan rahmatnya. Maka
dikeluarkanlah satu kaum dari neraka
yang mana mereka belum pernah melakukan
sebuah kebajikan sama sekali kemudian mereka masuk sebuah tempat
pemandian lalu dimasukkan ke dalam sebuah sungai yang berada di mulut syurga
yang dinamai dengan Nahrul hayat.
Lalu mereka keluar dari sungai tersebut seperti
sebuah biji yang terbawa
ombak....”, sampai pada sabda beliau: “Maka keluarlah mereka seperti
permata, yang pada lutut mereka ada cincin yang bisa dikenal oleh
penghuni syurga. Mereka itulah orang-orang yang Allah bebaskan dan
masukkan ke dalam syurga tanpa amal
dan tanpa kebaikan.”[28]
Orang-oang
Murji’ah berdalil dengan hadits ini untuk menguatkan faham mereka
dengan mengambil ungkapan dari
hadits di atas:
1. Mereka sama sekali belum pernah berbuat amal baik.
2. Mereka adalah orang-orang yang Allah bebaskan, kemudian dimasukkan kedalam syurga tanpa sebuah amal yang mereka kerjakan .
Kemudian
orang Murji’ah berkomentar, kalau
saja mereka bisa masuk syurga tanpa
amalan sedikit pun, lalu bagaimana kalau mereka punya amalan?. Maka
jawabnya menurut mereka adalah bahwa
mereka itu masih menyisakan tashdiq dan hal tersebut bermanfaat bagi mereka tanpa harus melihat pada amalan karena
hakekat iman itu menurut Murji’ah
adalah tidak sampai pada amalan.
7. Dan termasuk syubhat yang mereka pergunakan juga ialah bahwa
amalan bukan termasuk
dalam iman, sesuai dengan pendapat mereka:
- Kafir itu berlawanan dengan iman. Maka selama ada kekafiran, keimanan akan hilang dan demikian juga sebaliknya.
- Ada banyak nash yang menerangkan tentang pemalingan amalan atas iman.
8. Sedangkan dalil para
pengikut Hanafi adalah: bahwasanya iman ialah perkataan dan i’tikad saja sedangkan amalan tidak termasuk di
dalamnya, cukuplah amalan itu hanya sebagai
bagian dari syari’at Islam yang apabila seseorang melakukan sebuah
kemaksiatan maka berkuranglah syari’at Islamnya dan amalan bukanlah termasuk tashdiq
terhadap Islam. dalil mereka adalah:
- Bahwa yang dimaksud iman secara bahasa ialah tashdiq saja, sedangkan amal badan tidak disebut sebagai bagian dari iman.
- Andaikata amalan itu merupakan bagian dari iman dan tauhid niscaya wajib dihukum di saat tiada iman bagi orang yang kehilangan sebagian dari amalannya. Dan dalam hal ini Imam Abu Hanifah berkata dalam bukunya (Al Washiyyah): “Amalan itu bukan merupakan bagian dari iman dan iman itu bukanlah amalan”, dengan dalil bahwa banyak waktu yang mengangkat amalan dari seorang mukmin. Pada saat itu tidak boleh dikatakan bahwa imannya hilang. Maka seorang wanita yang haidh yang dicabut darinya kewajiban shalat, tidak boleh dikatakan bahwa imannya juga dicabut.”[29]
VIII. COUNTER TERHADAP HUJJAH MURJI’AH
Abdurrahman
Dimsaqiyah dalam bukunya yang berjudul “Syubhatu Ahlil fitnah wa Ajwibah
Ahlus Sunnah”, mengcounter pendapat Murji’ah dengan beberapa ketentuan:
1.
Sesungguhnya hadits
Rasulullah yang berbunyi:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنَّ لَا
إِلَهَ إِلَّا الله
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah.”
Kemudian dalam riwayat lain hadits ini dilanjutkan dengan
perkataan :
وَيُقِيْمُوْا الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ
“Dan mereka mendirikan shalat serta menunaikan
zakat.”
Apakah dalam riwayat hadits
Rasulullah shallahu ‘alihi wa sallam ini orang Murji’ah tidak setuju ??
2.
Al Hafidh Ibnu Hajar
berkata: “Sesuainya Hadits dengan perkara-perkara keimanan itu adalah sebagai counter terhadap
Murji’ah yang mereka menyangka bahwasanya Iman itu tidak membutuhkan
amalan-amalan/tindakan-tindakan.
3.
kemudian beliau
(Abdurrahman Dimsaqiyah) menguatkan couter ini dengan firman Allah:
فَإِن تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ
وَءَاتَوْا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينَ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu
seagama.”[30]
Maksud dari ayat ini adalah bahwa sesungguhnya jika mereka
tidak mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka mereka tidak dikatakan
sebagai saudara-saudara seagama dan tidak pula disebut sebagai saudara seiman.
Rasulullah shallahu
’alaihi wa sallam bersabda:
أَتَدْرُوْنَ مَا اْلِإيْمَانُ بِاللهِ
؟ شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهِ
وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَإِقَامُ الصَّلَاةَ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةَ، وَ أَنْ
تُؤْدُوْا الْخَمْسَ مِنَ اْلمَغَانِمِ
“Apa yang kalian ketahui tentang Iman
kepada Allah?, Iman kepada Allah adalah
bersaksi bahwa tidak ada Ilah kecuali hanya Allah saja dan tidak ada
sekutu bagi-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan merealisasikan
seperlima dari ghanimah.”[31]
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَمَنْ
تَرَكَهَا فَقَدْ بَرَئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ
Umar ibnu Al Khattab berkata: “Orang yang meninggalkan
shalat itu bukan orang Islam.”
Imam Abu Darda’: “Tidak dikatakan sebagai orang yang beriman kalau
tidak mau menegakkan shalat.”[33]
Ghalib Ali Awaji berkata: “Secara realita
nash-nash yang dikemukakan untuk menguatkan
Murji’ah atas keluarnya amal dari hakekat iman tidak bisa diterima.
Fahamnya yang menyatakan bahwa amalan dhahir itu keluar dari amal hati, karena
imannya hati; kalaulah ia menjadi sebuah
asas yang menjadi tolok ukur pertama, akan tetapi hal tersebut tidak bisa
menafikan bahwa keimanan hati itu bisa menjadi zhahir dengan amalan anggota
tubuh bahkan hal tersebut adalah yang benar sedangkan nash yang sudah jelas,
tidak hanya menunjukkan atas pembenaran hati
saja, akan tetapi justru iman itu tidak akan menjadi jelas kecuali harus
ditunjukkan dengan amalan zhahir. Sedangkan orang-orang yang menyisihkan amalan
zhahir dalam hakekat iman, bisa
disimpulkan bahwa mereka itu ingin meringankan hukum sampai terhadap orang yang
fajir yang sudah tidak diragukan lagi kefajirannya
Maka lanjut Ghalib, akan anda dapatkan di antara orang-orang
Murji’ah itu ada yang tidak mengkafirkan seseorang karena
amalan dhahir, walaupun telah datang
wahyu yang menyatakan kekafirannya secara nyata. Mereka tidak berani
mengungkapkan kekafirannya, sampai-sampai
mereka berkeyakinan dari hati mereka bahwa dia masih beriman karena jika
seseorang sudah pernah membenarkan
syiar-syi’ar Islam maka tidak boleh dikafirkan walaupun ia telah melakukan
perbuatan yang mengarah pada kekafiran,
kecuali kalau tashdiq-nya telah hilang dari hatinya maka lereka
baru mau mengkafirkannya.
Hal
ini bisa terjadi dikarenakan mereka meninggalkan keterkaitan amal dengan
keimanan hati, padahal sebenarnya amalan kekafiran yang ia lakukan itu bisa
mengkafirkannya, apabila perbuatan tersebut telah ada wahyu yang menyatakan
bahwa pelakunya telah kafir, meskipun hatinya tidak mengkafirinya, begitu pula
ketika anggota badan melakukan kekafiran seperti halnya mencela Allah dan
Rasul-Nya atau mengutamakan undang-undang buatan manusia dari pada syari’at
islam.
Demikian
juga dalam urusan lain yang sudah dimaklumi oleh din, maka dalam mengkafirkan
perbuatan tersebut tidak dibutuhkan introgasi kepada pelaku dosa, Apakah
keimanan yang ada dalam hati itu membenarkan atau tidak? karena perbuatan
tersebut telah menyatakan bahwa pelakunya telah kehilangan tashdiq atau tashdiq
yang bersarang dalam dadanya itu sebagaimana tashdiq iblis kepada Allah
dan hari akhir, maka mana mungkin tashdiqnya itu bisa bermanfaat?
demikian juga halnya kesesatan yang terjadi pada mereka, kecuali
mereka bisa mendatangkan alasan dan hujjah yang cukup untuk mengeluarkan diri
dari kekafiran yang dilakukan serta menyatakan keshahihan aqidah yang mereka
yakini.[34]
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al Qur’an Al Kariem
dan terjemahannya
2.
Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah- Mu’asasah Ar Risalah, th. 1418 H/1997 M
3.
Manhaj Ibnu Taimiyyah fi
Mas’alatit Takfir, Dr. Abdl Majid Al Masy’abi-Adhwaaus Salaf- Riyadh, cet.I
Th. 1418 H/1997 M-
4.
Al Mausu’ah Al Muyassarah, Dr. Maani’ bin Khammad Al Jahny- WAMY-Riyadh,
cet.III Th. 1418 H-
5.
Talbis Iblis, Ibnu Jauzy Al Baghdady-Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah-
Beirut, Cet. IV Th. 1414 H / 1994 M
6.
Firaaqul Mu’ashirah, Ghalib bin Ali Awaji- cet. I th. 1414 H/1993 M-
7.
Syarh Al Usul Al
I’tiqad, Al Lalikai, Maktabah layyinah, cet 1414 H /1993 M
8.
Al Inhirafaat Al ‘Aqdiyah
wa Al Amaliyah, Ali bin Bukhait Az Zahrani. Dar Ar Risalah, Makkah tanpa tahun
cetakan.
9.
Al Misbah Al Munir, Al Fayumi, Maktabah Libanon. Th 1987 M.
10. Tartib Al Qamus Al Muhith, At Tahiir Ahmad Az Zawii, Cet ke IV 1996, Darul Alam Al
Kutub-Riyadh.
11. Syubhatu Ahlil Fitnah Wa Ajwibah Ahlus Sunnah, Abdurrahman Ad Dimsaqiyah, Darul Jaariy-Libanon
tanpa tahun cetakan.
12. Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar Al Asqalani, Cet I Th 1984, Darul Fikr-Beirut.
13. Shahih Muslim, Imam Muslim, Cet I
Th 1998, Dar As Salaam-Riyadh.
[1] . Tartibul Qamus Al Muhid : 2 / 313
[2] . Al Misbahul Al Munir : 84
[3]. Firaq Muashirah , Ghalib
Ali Awwaji, Juz II hal : 745
[4]. Syarh Usul ‘Itiqad :1/ 25
[5]. Al Misbahul Al Munir : 84
[6]. Firaq Muashirah , Juz II hal : 746
[7]. Tahdzib At Tahdzib : 2 / 276-277
[8] . Syarh Usul ‘Itiqad :1/ 26- 27
[9] . Syarh Usul ‘Itiqad :1/ 26 -28
[10] . Firaq Mu’asirah : 757
[11] . Firaq Mu’asirah : 749
[12]. Al Inhirafat Al ‘Aqdiyah
wal Amaliyah : 119-120
[13] . Talbis Iblis, Ibnul Jauzi , Darul Kutub Ilmiah ,hal 29
[14] . Firaq Mu’asirah : 761
[15] . Majmu’ Fatawa, Ibu Taimiyah : 8 / 195
[16] . Majmu’ Fatwaa, Ibnu Taimiyyah
7 / 394-395
[17] . Manhaj Ibnu Taimiyah fi
Mas’alatit Takfir, DR. Abdul Majid Al Masabi : 2 / 327-328
[18] . An Nisaa’ / 4 : 48
[19] . Az Zumar / 39: 53
[20] . Al Mujadalah / 58: 22
[21] . An Nahl / 16 : 106
[22] . Al Baqaraah / 2 : 7
[23] . HR Bukhari dan Muslim, Shahih Muslim, hadits no. 268-269
[25] . HR. Ahmad
[27] . HR. Muslim
[29] . Firaq Muashirah, Ghalib Ali ‘Awaji
2 / 763-766
[30] . Surat
At Taubah / 9 : 11
[31] . HR Bukhari dan Muslim.
[32] . HR Ahmad dan Thabrani.
[33] . Syubhaat Ahlul Fitnah Wa Ajwabah Ahlus Sunnah : 18 – 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar