Senin, 01 Oktober 2012

Makalah teologi islam Murji'ah, Makalah Murji'ah, Murji'ah Makalah, Murji'ah


بسم الله الرحمن الرحيم
المرجئة
MURJI’AH


I. PENGERTIAN
Murji’ah secara etimologi  memiliki arti :
1. التأخير  : Mengakhirkan.[1]
2. الخوف  : Takut.[2]
3. Angan-angan
4. Memberi
5. Mengharap.

Firman Allah Ta’ala dalam surat  An Nisa’, ayat 104:
وَتَرْجُوْنَ مِنَ الله ِمَالَا يَرْجُوْنَ
 “Sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan."
Dan firman-Nya dalam Surat Nuh, ayat 13:
مَا لَكُمْ لَا تَرْجُوْنَ لله َوَقَارًا
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah."
          Al Azhari menyebutkan perihal kata-kata Raja’ yang mempunyai arti ‘takut’ yaitu apabila  lafadz Raja’ bersama dengan huruf  nafi.
ٍSedangkan kata-kata Irja’ yang mempunyai arti takhir (mengakhirkan) sebagaimana dalam firman-Nya surat Al a’raaf:111 yang dibaca arjikhu yaitu akhirhu.[3]
          Secara terminologi para ulama berbeda pendapat tentang ketepatan dalam mengartikan  kalimat Murji’ah, secara ringkas kalimat Murji’ah adalah:
1.    Al Irja’  : Mengakhirkan amal dari Iman.
Al Bagdadi berkata : “Mereka dikatakan Murji’ah dikarenakan mereka mengakhirkan amal dari pada iman.”[4]
    Alfayaumy berkata: “Mereka adalah orang-orang yang tidak memberi hukuman kepada seseorang  di dunia akan tetapi mereka mengakhirkan hukuman tersebut hingga datangnya hari kiamat.”[5]
2.  Irja’ diambil dari bahasa  yang berarti  takhir dan  imhal“ (mengakhirkan dan meremehkan). Irja’ semacam ini adalah irja’ (mengakhirkan) amal dalam derajat iman  serta menempatkannya pada posisi kedua  berdasarkan iman dan  dia bukan menjadi bagian dari iman itu sendiri,  karena iman secara majaz, di dalamnya  tercakup amal. Padahal amal itu sebenarnya merupakan pembenar dari iman itu sendiri sebagaimana yang telah diucapkan  kepada  orang–orang yang mengatakan bahwa perbuatan maksiat itu tidak bisa membahahayakan keimanan sebagaimana  ketaatan tidak bermanfaat bagi orang kafir.
Pengertian seperti 
ini tercakup juga di dalamnya orang-orang yang mengakhirkan amal dari niat dan tashdiq (pembenaran).
3.  Pendapat yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud  dengan Irja’  adalah  mengakhirkan hukuman kepada pelaku dosa besar sampai datangnya hari kiamat  yang mana dia tidak akan diberi balasan atau hukuman  apapun ketika masih   berada di dunia.
4.  Sebagian mereka  ada yang  mengartikan  Irja’ dengan perkara yang terjadi pada Ali, yaitu dengan memposisikan Ali pada peringkat ke-empat dalam tingkatan sahabat. Atau mengakhirkan (menyerahkan) urusan Ali  dan Utsman  kepada  Allah  subhanahu wata’alla serta tidak  menyatakan bahwa mereka berdua beriman atau kafir.
Sebagian kaum Murji’ah yang lain ada yang tidak memasukkan sebagian sahabat Nabi Muhammad SAW yang  berlepas diri dari fitnah yang terjadi  antara sahabat Ali dan Muawiyah sebagai sahabat Rasulullah SAW.[6]

II. SEJARAH  KEMUNCULAN  MURJI’AH
          Pada awal mulanya Irja’ muncul untuk mengcounter  paham Khawarij yang mengkafirkan Hakamain [dua orang yang memutuskan perkara dalam masalah Ali dan  Muawiyah], juga untuk mengcounter Ali bin Abi Thalib. Irja’  semacam ini  bukanlah Irja’ yang bersangkutan dengan  Iman, akan tetapi mereka hanya membicarakan tentang  perkara dua kelompok yang berperang di antara para sahabat saja.
          Dalam sejarah kemunculannya didapatkan bahwa orang yang pertama  kali membicarakan  masalah Irja’ adalah  Al Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah, beliau meninggal pada tahun 99 H.[7]  Dan setiap orang yang  mengisahkan riwayat hidupnya akan  menyebutkan tentang permasalahan Irja’ beliau.
          Ibnu  Sa’ad berkata: “Al Hasan  adalah orang yang pertama kali mengatakan  tentang irja’. Dikisahkan  bahwa Zadzan  dan Maisarah  datang kepadanya dan langsung mencelanya, lantaran  sebuah buku  yang ia tulis tentang irja’, maka Al  Hasan berkata pada Zadzan: "Wahai Abu Umar,  sungguh aku  lebih suka mati dan aku dalam keadaan tidak menulis buku tersebut.”
          Buku yang ditulis oleh Al Hasan ini   hanyalah Irja’  tentang sahabat yang ikut serta dalam fitnah (red : perselisihan)  yang terjadi  setelah wafatnya Syaikhani (Abu Bakar dan Umar).
          Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam buku yang telah diterbitkan menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Irja’ yang dibawa oleh Al Hasan adalah Irja’ yang tidak dicela oleh Ahlus Sunnah, yaitu Irja’ yang berkaitan dengan iman, hal tersebut saya (Ibnu Hajar) tegaskan berdasarkan pada kitab yang  dikarang oleh Al Hasan bin Muhammmad. Di akhir kitab  "Al Iman", karangan Ibnu Abi Umar  dikatakan: "Telah diceritakan oleh Ibrahim  bin Uyainah  dari Abdul Wahid bin Ayman bahwa Al Hasan  bin Muhammad  menyuruhku untuk membacakan kitabnya  kepada khalayak, yang bunyinya sebagai berikut:
      &nbrp;   “Amma ba'du. Kami  wasiatkan kepada Anda sekalian agar bertakwa pada Allah, kemudian dia  berwasiat tentang kitabullah dan agar mengikutinya  serta menyebutkan keyakinannya lalu dia berkata  pada akhir-akhir wasiatnya: "Kami telah mengangkat Abu Bakar dan Umar  sebagai khalifah dan kami berjihad di masa mereka berdua,  karena keduanya belum  pernah dibunuh oleh ummatnya  bahkan ummatnya tidak merasa ragu terhadap urusan-urusan  mereka. Sedangkan orang–orang setelahnya  yang berselisih  maka kami akhirkan (posisi) mereka dan kami serahkan urusannya  kepada Allah  ……. ."
          Inilah Irja’ yang  telah dikatakan oleh Al Hasan bin Muhammad, dan permasalahan tersebut telah  dikuatkan oleh  Ibnu Hajar.
          Kejadian tersebut di atas mengilhami beliau (Ibnu Hajar) untuk menulis suatu karangan yang berjudul  : “Perkara  Irja’ yang  tidak  berkaitan dengan iman tidak  menjadikan seseorang tercela” .[8]

III. TOKOH-TOKOH FAHAM MURJI’AH.
        Beberapa buku dan keterangan para ulama  menyatakan bahwa di antara tokoh-tokoh faham Murji’ah  adalah sebagai berikut :
1.      Al Hasan bin Muhammad bin Al Hanafiyah
2.      Ghiilan
3.      Jahm bin Shafwan [9]
4.      Abu Hanifah

IV. POKOK PEMIKIRAN DAN AQIDAH MURJI’AH

  1. Iman itu adalah tashdiq saja atau pengetahuan hati saja atau iqrar saja.
  2. Amal itu tidak masuk dalam hakekat iman dan tidak pula masuk dalam bagiannya.
  3. Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
  4. Orang yang berbuat maksiat tetap dikatakan Mu’min kamilul Iman ( mukmin yang sempurna imannya) sebagaimana sempurnanya tashdiq mereka (tidak dapat tergoyahkan dengan apapun) dan di akhirat kelak ia tidak akan masuk neraka.
  5. Manusia itu pencipta amalnya sendiri dan Allah tidak dapat melihatnya diakhirat nanti. (Ini seperti pemahaman Mu’tazilah)
  6. Sesungguhnya Imamah itu tidak wajib, kalaupun Imamah itu ada, maka Imamnya itu boleh datang dari golongan mana saja walaupun bukan dari Quraisy. (dalam masalah ini pemahamannya seperti Khawarij).
7.   Bodoh kepada Allah itu adalah kufur kepada-Nya.[10]
Orang-orang Murji’ah mengatakan bahwa Iman  adalah amalan hati saja atau amalan lisan saja atau kedua-duanya  bukan amalan yang bermakna rukun (amalan dzahir), serta iman itu tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Sampai-sampai perbuatan kafir dan zindik pun  tidak membahayakan bagi keimanan seorang muslim.
          Dalam  madzhab Abu Hanifah  iman itu hanya sampai  pada pembenaran dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan, maka yang satu tidak berguna bagi  yang lainnya, barang siapa yang beriman dengan hatinya tapi berdusta/kafir dengan lisannya, maka bukanlah seorang mukmin. [11]
          Shahibul kitab Al Inhirafaat Al Aqdiyah wa Al Al’amaliyah menerangkan bahwa orang-orang Murji’ah mejadikan arkanul Islam sebagai bagian yang paling besar dari iman kepada Allah azza wa jalla disejajarkan dengan syahidusy syuhud atau qarinah-qarinah dhahir yang faktanya justru mereka menyelisihinya sampai-sampai terucap perkataan dari lisan mereka:    “Sesungguhnya orang yang mencela Allah, membunuh Rasul-Nya, maka ia tetap dikategorikan sebagai orang mukmin dan tidak akan menjadi kafir (dari sisi batin) kecuali ilmu batinnya (iman) telah hilang dari hatinya. Apabila dikatakan kepada mereka: “Telah datang kepada kalian Al Quran dan As sunnah yang mengkafirkan ilmu dan tashdiq batin kalian, karena ilmu dan tashdiq kalian tidak disertai keyakinan di hati dan ikrarkan dengan lisan”. Maka mereka menjawab: “Siapa yang dapat mendatangkan nash/hujah yang mencounter ilmu kami? Yaitu mengcounter berdasarkan nash,  bukan dengan analisa/pandangan dan pemahaman semata!” Disamping itu kami tetap tidak dapat mengkafirkannya meskipun kami mengetahui hukumannya secara dhahir.
          Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Berdasarkan keterangan di atas tampakjelas kesalahan perkataan Jahm bin Shafwan beserta pengikutnya, mereka mengira bahwa iman cukup hanya dengan pembenaran dan pengetahuan hati, dengan tidak menjadikan amalan-amalan hati termasuk dari bagian iman, sehingga mereka menyangka bahwa seseorang akan menjadi mukmin kaamilul iman hanya dengan hati saja, di sisi lain ia mencela Allah, Rasul-Nya, melbunuh wali-wali-Nya, loyal terhadap musuh-musuh Allah, membunuh para Nabi, menghancurkan masjid-masjid, menghina mushaf (Al Quran), memuliakan orang-orang kafir dengan kemuliaan sedemikian rupa, menghina orang-orang mukmin dengan kehinaan sedemikian rupa, dengan perasaan ringan mereka mengatakan: “Semua ini adalah perbuatan maksiat namun semua itu tidak dapat menghilangkan iman yang sudah tertancap dalam hati, bahkan perbuatan seperti ini menurut Allah tetap dikatakan sebagai mukmin kalau iman  benar-benar sudah ada di hati.”[12]

V . PEMBAGIAN MURJI’AH
Ibnul Jauzi mengatakan  bahwa Murji’ah terbagi menjadi  11 bagian:           
1. At Tarikah
Mereka mengatakan: “Tidak ada  kewajiban bagi seorang hamba kepada Allah selain hanya  beriman saja. Barang siapa yang telah beriman kepada-Nya dan telah mengenal-Nya maka dia boleh berbuat sesukanya.” 
2. As Saibiah
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya Allah  membiarkan hamba-Nya untuk berbuat sesukanya.” 
3. Ar Raji’ah
Mereka mengatakan: “Kami  tidak mengatakan taat bagi orang yang taat, dan juga tidak menyebut maksiat bagi orang yang melakukan perbuatan maksiat karena kami tidak mengetahui   kedudukan  mereka di sisi Allah.”
4. Asy- Syakiah
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya ketaatan itu bukanlah dari iman.”
5. Baihasyiah  (nisbah pada  Baihasy bin Haisham)
 Mereka mengatakan: “Iman itu adalah ilmu, barang siapa yang tidak mengetahui yang hak dan yang batil, juga tidak mengetahui halal dan haram maka dia telah kafir.”
6. Manqushiah                                      
Mereka mengatakan: “Iman itu bertambah tapi tidak berkurang.”
7. Mustatsniah
 Mereka  adalah orang-orang yang menafikan, atau  istitsna’“ (pengecualian) dalam hal keimanan.
8. Musyabbihah
Mereka mengatakan: “Allah mempunyai  penglihatan  sebagaimana penglihatanku dan juga mempunyai tangan  sebagaimana tanganku.”
9. Hasyawiah
Mereka menjadikan  hukum hadits semuanya adalah satu, dan menurut mereka  orang-orang yang meninggalkan amalan sunnah sama halnya dengan orang yang  meninggalkan  amalan fardhu.
10. Dzahiriyah
Mereka adalah orang-orang yang menafikan (tidak menggunakan) qiyas.
11.Bid’iyyah
Mereka adalah orang pertama yang memulai bid’ah pada ummat ini.[13]
Ghalib  Ali Awwaji dalam firaq muashirah membagi Murji’ah I’tiqadiyah  (secara keyakinan) menjadi beberapa bagian yang sangat banyak, akan tetapi yang beliau sebutkan hanyalah  secara garis besarnya saja sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ulama Firaq:
1. Murji’ah sunnah
Mereka adalah para pengikut Hanafi, termasuk di dalamnya adalah Abu Hanifah dan gurunya Hammad  bin Abi Sulaiman  juga orang-orang yang mengikuti mereka dari golongan Murji’ah  Kufah dan yang lainnya. Mereka ini adalah  orang-orang  yang mengakhirkan amal dari hakekat iman.
2. Murji’ah Jabariyah
Mereka adalah Jahmiyyah  (para pengikut Jahm bin Shafwan), Mereka  hanya mencukupkan diri dengan keyakinan dalam hati saja .Dan menurut mereka maksiat itu tidak berpengaruh pada iman  dan bahwasanya ikrar dengan lisan  dan amal bukan dari iman.
3. Murji’ah Qadariyyah
Mereka adalah orang yang dipimpin oleh Ghilan Ad Damsyiki sebutan mereka Al Ghilaniah
4. Murji’ah Murni
Mereka adalah kelompok yang oleh para ulama diperselisihkan jumlahnya.
5. Murj’ah  Karamiah
Mereka adalah kawan-kawan Muhammad bin Karam, mereka berpendapat bahwa iman hanyalah ikrar dan pembenaran dengan lisan tanpa pembenaran dengan hati
6. Murji’ah Khawarij
Mereka adalah Syabibiyyah dan sebagian kelompok Shafariyyah yang tidak mempermasalahkan pelaku dosa besar. Al Asy’ari  dalam makalahnya menghitung Murji’ah sampai 12  kelompok.[14]
Akan tetapi secara ringkas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawaa membagi Murji’ah menjadi tiga bagian :
Pertama : Mereka yang mengatakan bahwa iman itu adalah hanya cukup di hati saja. Kemudian sebagian dari mereka ada yang memasukkan  dalam faham ini amalan hati. Mereka ini kebanyakan berasal dari Murji’ah, dan Abu Hasan Al Asy'ari telah menyebutkan  perkataan mereka di dalam bukunya. Di antara mereka ada juga yang tidak memasukkan amal dalam iman seperti Jahm bin Shafwan dan orang-orang yang mengikutinya seperti Shalihi. Faham inilah yang dimenangkan oleh Jahm dan kebanyakan sahabatnya .
Kedua  : Mereka yang mengatakan  bahwa iman itu hanya  ucapan lisan  saja. Dan pendapat yang kedua ini tidak dikenal sebelum "Al Karamiyah" (Lihat pembahasan sebelumnya).  
Ketiga  : Pendapat yang mengatakan bahwa iman itu adalah pembenaran dalam hati dan diucapkan dengan lisan. Pendapat yang  ketiga ini adalah pendapat ynag masyhur di kalangan Ahli Fikih  dan para pengikutnya.[15]

VI. KECAMAN AIMMAH TERHADAP MURJI’AH


         Syubhat yang terjadi pada mereka dikarenakan keluasan ilmu yang dimiliki dan banyaknya ibadah yang mereka lakukan serta baiknya keislaman mereka, hal ini masuk kepada “ irja’ fuqaha’”.         
Jama’ah yang tersebut di atas beranggotakan para pakar ilmu dan ahlid dien. Oleh karena itu, tiada seorang pun dari para salaf yang mengkafirkan  Murji’ah Fuqaha’ akan tetapi mereka hanya menjadikan hal tersebut sebagai bentuk bid’ah ucapan dan perbuatan, bukannya bid’ah  dalam hal aqidah.
Perselisihan yang terjadi di dalamnya hanya berkisar lafadz saja dan bahkan sebuah lafadz yang sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah adalah dibenarkan. Maka tidak dibenarkan seseorang berkata dengan perkataan yang bertentangan dengan  perkataan Allah dan Rasul-Nya, apalagi hal tersebut telah membuka jalan menuju bid’ah ahli kalam yaitu dari kalangan  Murji’ah dan lain sebagainya, juga  membuka timbulnya  kefasikan, maka kesalahan  yang remeh dalam bentuk lafadz ini  bisa menjadi sebab  yang sangat besar  yang berkaitan dengan aqidah dan  perbuatan.  Oleh karena itu perkataan yang paling  keras dalam  mengecam paham Irja’ adalah perkataan yang diucapkan oleh Ibrahim An Nakha’i  terhadap fitnah yang mereka timbulkan  yaitu Murji’ah dengan perkataan: “Murji’ah lebih aku takutkan dari fitnah  Azzariqah.”
 Az-Zuhri berkata: « Tidak ada bid’ah yang lebih berbahaya dalam Islam kecuali bid’ah  Irja’.”
Al-Auza’i berkata: « Yahya bin Abi Katsir serta Qatadah mengatakan bahwa tidak ada  yang lebih ditakuti oleh ummat dalam hal hawa nafsu melebihi irja’ »
   Syuraik berkata: “Mereka adalah sejelek-jelek kaum, cukuplah Rafidlah itu disebut jelek akan tetapi Murji’ah lebih jelek lagi karena mereka mendustakan Allah.” 
   Shafyan Ats-Tsauri berkata: “Murji’ah meninggalkan Islam lebih lembut dari pada  pakaian   Sabiri (jenis pakaian).”
   Qatadah berkata: “Irja’ itu terjadi setelah adanya fitnah kelompok Ibnul Asy’ats.”[16]
  Al-Auza’i berkata: « Yahya bin Abi Katsir serta Qatadah mengatakan  bahwa  tiada  yang lebih ditakuti  oleh ummat  dalam hal  hawa  nafsu melebihi irja’.”
   Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Para salaf telah mengkafirkan Jahmiyah.  Begitu juga Imam Ahmad dan Waqi’  serta yang lainnya menyatakan atas kekafiran orang yang mengatakan bahwa iman itu hanya cukup ma’rifah di hati walaupun  tidak diucapkannya.
Sedangkan para Salaf bersepakat untuk tidak mengkafirkan Murji’ah secara total, walaupun mereka tetap membid’ahkan dan keras pernyataan tentangnya, sebagaimana yang dikisahkan oleh Syaikhul Islam tentang mereka seraya berkata: “Para salaf dan a’immah bersepakat untuk tidak mengkafirkan Murji’ah dan Syi’ah Mufaddlalah (kelompok yang mendahulukan Ali dari pada Utsman) dan yang lainnya. Sedangkan dalam kontek Imam Ahmad dinyatakan mereka tidak dikafirkan, walaupun sebagian sahabatnya ada yang mengkafirkan seluruh ahli bid’ah dari kalangan mereka dan sebagian sahabatnya yang lain tidak mengkafirkan, sampai-sampai sebagian sahabatnya menyatakan kekekalan mereka di neraka, ini adalah pendapat yang salah di dalam madzhab Imam Ahmad begitu pula menurut syari’ah.”[17]

VII. HUJAH YANG DIGUNAKAN MURJI’AH         
          Murji’ah mengambil nash sebagai dalil untuk menguatkan madzhab mereka dan  menjadikan keragu-raguan pada nash tersebut, kemudian mereka menguatkan syubhatnya  dengan  taklif yang tidak dibenarkan  syari’at. Akhirnya  menghasilkan kesimpulan yang dipaksa-paksakan bahwa amal perbuatan bukan bagian dari hakekat iman. Mereka menyingkirkan seluruh amal dari iman dan mengatakan cukuplah seseorang sudah dianggap beriman dan sukses menggapai ridha Allah dengan cara menjadikan hati mengenal Allah dan mempercayai-Nya.
Dengan demikian mereka telah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pelaku kebatilan dan pemalas untuk sekedar berangan-angan tanpa ada amalan nyata. Mereka  adalah orang-orang yang suka berlepas diri dari nash syar’i, maka akan engkau dapatkan   Murji’ah yang ekstrim, di antara mereka ada orang yang sangat malas dalam beribadah dan selemah-lemahnya manusia dalam  beriltizam kepada Syariat  Islam.  Mereka telah mencari  dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang mereka kira bahwa dalil tersebut menunjukkan atas keabsahan  madzhab mereka, yaitu:

     A. Dalil dari  Al-Qur’an:
1. Firman Allah:
إِنَّ اللهَ لا َيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآء   
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.” [18]
2. Firman Allah:
قُلْ يَاعِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ 
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah,sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[19]
3. Mereka  layaknya Jahmiyyah yang telah memperhatikan  pengumpulan nash yang menjadikan  keimanan dan kekufuran seluruhnya terletak  pada hati. Sebagaimana firman Allah:
1.  أُوْلاَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ 
"Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan.”[20]
2.  إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ
"Kecuali orang-orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)."[21]
3.  خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ
"Allah telah mengunci mati hati mereka."[22]
             Juga masih banyak lagi ayat-ayat semisal yang secara dhahir dalam pengertian ini yang diambil oleh orang-orang Murji’ah untuk digunakan sebagai penguat madzhab mereka meskipun sebenarnya ayat-ayat itu tidak cocok serta tidak sesuai dengan apa yang mereka maksudkan itu.

B. Dalil dari Sunnah
Mereka berhujjah dengan sebagian hadits dan atsar, yang secara dhahir  menunjukkan atas  perintah untuk menjauhi syirik  dan keberadaan iman  dalam  hati  seseorang untuk menggapai kejayaan dan  keridhaan Allah:

1.  Rasululllah SAW bersabda:
مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئا دَخَلَ النَّارَ.   قَالَ إِبْنُ مَسْعُوْدٍ:  وَقُلْتُ أَنَّا مَنْ مَاتَ  لَا يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barang siapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu maka ia akan masuk neraka”,  Ibnu Mas’ud berkata: “Saya katakan: "Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah maka ia masuk Jannah.” [23]
2.  Dalam hadits qudsi  Rasulullah SAW meriwayatkan dari ِAllah:  
يَا ابْنُ أَدَ مَ اِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ  بِقِرَابِ اْلَأرْضِ خَطَايًا ثُمَّ لَقَيْتَـــنِيْ لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَ تَـيْتُــكَ  بِقِرَابِهَا   مَغْفِرَةً 
“Hai anak Adam, sesungguhnya jika kamu mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian menemui Aku tanpa berbuat syirik  sedikit pun, sungguh Aku akan mendatangimu dengan maghfirah yang sebanding.”[24]  
3.  Nabi SAW bersabda:
اللَّهُمَّ ثّبِّتْ قَـْلبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
 “ Ya  Allah, tetapkanlah hatiku pada dien-Mu.”[25]
4. Demikian juga dalam hadits  yang mengisahkan tentang seorang budak perempuan  yang ditanya oleh Rasullah SAW dengan sabdanya: “Di mana Allah?”  Maka jawabnya: “Di langit”, Maka Rasullah SAW berkata kepada tuannya:  “Bebaskanlah dia karena dia adalah seorang Mu’minah.”[26]
5.    Rasululllah  SAW bersabda:
“Taqwa itu ada di sini, seraya menunjuk pada dadanya tiga kali.”[27]
6. Dan  termasuk dalil mereka juga ialah  tentang hadits syafa’ah dari Mushthafa SAW kepada  beberapa kaum  yang kemudian Allah mengeluarkan mereka  sampai  tiada sebiji atom atau sebiji gandum atau sebiji tepung pun iman yang tersisa  dalam hatinya, Di dalamnya terdapat  potongan sabda beliau SAW: “Maka Allah  berfirman, bahwa malaikat telah memberi syafa’at, para Nabi pun memberi syafa’at, demikian juga  para mukmin dan tiada yang tertinggal  kecuali pasti memberikan rahmatnya. Maka dikeluarkanlah satu kaum  dari neraka yang mana mereka belum pernah melakukan  sebuah kebajikan sama sekali kemudian mereka masuk sebuah tempat pemandian lalu dimasukkan ke dalam sebuah sungai yang berada di mulut syurga yang dinamai dengan  Nahrul hayat. Lalu mereka keluar dari sungai tersebut seperti  sebuah biji  yang terbawa ombak....”,  sampai pada  sabda beliau: “Maka keluarlah mereka seperti  permata,  yang pada  lutut mereka ada cincin yang bisa  dikenal oleh  penghuni syurga. Mereka itulah orang-orang yang Allah bebaskan dan masukkan ke dalam syurga  tanpa amal dan  tanpa kebaikan.”[28]
            Orang-oang Murji’ah berdalil dengan hadits ini untuk menguatkan  faham mereka  dengan  mengambil ungkapan dari hadits di atas:
1. Mereka sama sekali belum pernah berbuat  amal baik.
2. Mereka adalah orang-orang yang  Allah bebaskan, kemudian dimasukkan  kedalam syurga   tanpa sebuah amal yang mereka kerjakan .
Kemudian  orang Murji’ah  berkomentar, kalau saja  mereka bisa masuk syurga tanpa amalan sedikit pun, lalu bagaimana kalau mereka punya amalan?. Maka jawabnya  menurut mereka  adalah bahwa  mereka itu masih menyisakan  tashdiq  dan hal tersebut bermanfaat bagi mereka  tanpa harus melihat pada  amalan karena  hakekat iman  itu menurut Murji’ah adalah tidak sampai pada amalan.
7. Dan termasuk syubhat yang mereka  pergunakan juga ialah  bahwa  amalan  bukan  termasuk  dalam iman, sesuai dengan pendapat mereka:
  1. Kafir itu berlawanan dengan iman. Maka selama ada kekafiran, keimanan akan hilang dan demikian juga sebaliknya.
  2. Ada banyak nash yang menerangkan tentang pemalingan amalan atas iman.
8. Sedangkan dalil  para pengikut Hanafi adalah: bahwasanya iman ialah perkataan dan i’tikad  saja sedangkan amalan tidak termasuk di dalamnya, cukuplah amalan itu hanya sebagai  bagian dari syari’at Islam yang apabila seseorang melakukan sebuah kemaksiatan maka berkuranglah syari’at Islamnya dan amalan bukanlah termasuk tashdiq terhadap Islam. dalil mereka  adalah:
  1. Bahwa yang dimaksud iman secara bahasa ialah tashdiq saja, sedangkan amal badan  tidak disebut  sebagai bagian dari iman.
  2. Andaikata  amalan itu merupakan bagian dari iman dan tauhid niscaya wajib dihukum di saat  tiada iman bagi orang yang kehilangan  sebagian dari  amalannya. Dan dalam hal ini Imam Abu Hanifah  berkata  dalam  bukunya (Al Washiyyah): “Amalan itu bukan merupakan bagian dari iman dan iman itu bukanlah amalan”, dengan dalil bahwa banyak  waktu yang mengangkat amalan dari seorang mukmin. Pada saat itu tidak boleh  dikatakan bahwa imannya hilang. Maka seorang wanita yang haidh yang dicabut darinya  kewajiban shalat,  tidak boleh dikatakan bahwa imannya juga dicabut.”[29]

VIII. COUNTER TERHADAP  HUJJAH MURJI’AH


          Abdurrahman Dimsaqiyah dalam bukunya yang berjudul “Syubhatu Ahlil fitnah wa Ajwibah Ahlus Sunnah”, mengcounter pendapat Murji’ah dengan beberapa ketentuan:
1.    Sesungguhnya hadits Rasulullah yang berbunyi:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا الله
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah.”
Kemudian dalam riwayat lain hadits ini dilanjutkan dengan perkataan :
وَيُقِيْمُوْا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ
“Dan mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat.”
 Apakah dalam riwayat hadits Rasulullah shallahu ‘alihi wa sallam ini orang Murji’ah tidak setuju ??
2.    Al Hafidh Ibnu Hajar berkata: “Sesuainya Hadits dengan perkara-perkara  keimanan itu adalah sebagai counter terhadap Murji’ah yang mereka menyangka bahwasanya Iman itu tidak membutuhkan amalan-amalan/tindakan-tindakan.
3.    kemudian beliau (Abdurrahman Dimsaqiyah) menguatkan couter ini dengan firman Allah:
فَإِن تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوْا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينَ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.”[30]
          Maksud dari ayat ini adalah bahwa sesungguhnya jika mereka tidak mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka mereka tidak dikatakan sebagai saudara-saudara seagama dan tidak pula disebut sebagai saudara seiman.
Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
أَتَدْرُوْنَ مَا اْلِإيْمَانُ بِاللهِ ؟  شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَإِقَامُ الصَّلَاةَ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةَ، وَ أَنْ تُؤْدُوْا الْخَمْسَ مِنَ اْلمَغَانِمِ
“Apa yang kalian ketahui tentang Iman kepada Allah?, Iman kepada Allah adalah  bersaksi bahwa tidak ada Ilah kecuali hanya Allah saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan merealisasikan seperlima dari ghanimah.”[31]
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ بَرَئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ
“Barang siapa yang meninggalkan shalat, maka sungguh aku berlepas diri dari melindunginya.”[32]
Umar ibnu Al Khattab berkata: “Orang yang meninggalkan shalat itu bukan orang Islam.”
Imam Abu Darda’: “Tidak dikatakan sebagai orang yang beriman kalau tidak mau menegakkan shalat.”[33]
Ghalib Ali Awaji berkata: “Secara realita nash-nash yang dikemukakan  untuk  menguatkan  Murji’ah atas keluarnya amal dari hakekat iman tidak bisa diterima. Fahamnya yang menyatakan bahwa amalan dhahir itu keluar dari amal hati, karena imannya hati; kalaulah ia menjadi sebuah  asas  yang  menjadi tolok ukur  pertama, akan tetapi hal tersebut tidak bisa menafikan bahwa keimanan hati itu bisa menjadi zhahir dengan amalan anggota tubuh bahkan hal tersebut adalah yang benar sedangkan nash yang sudah jelas, tidak hanya menunjukkan atas pembenaran hati  saja, akan tetapi justru iman itu tidak akan menjadi jelas kecuali harus ditunjukkan dengan amalan zhahir. Sedangkan orang-orang yang menyisihkan amalan zhahir dalam hakekat iman,  bisa disimpulkan bahwa mereka itu ingin meringankan hukum sampai terhadap orang yang fajir yang sudah tidak diragukan lagi kefajirannya
          Maka  lanjut Ghalib,  akan anda dapatkan di antara orang-orang Murji’ah itu ada yang tidak mengkafirkan seseorang  karena  amalan dhahir, walaupun telah datang  wahyu yang menyatakan kekafirannya secara nyata. Mereka tidak berani mengungkapkan kekafirannya, sampai-sampai  mereka berkeyakinan dari hati mereka bahwa dia masih beriman karena jika seseorang sudah  pernah membenarkan syiar-syi’ar Islam maka tidak boleh dikafirkan walaupun ia telah melakukan perbuatan yang mengarah pada kekafiran,  kecuali kalau tashdiq-nya telah hilang dari hatinya maka lereka baru mau mengkafirkannya.         
          Hal ini bisa terjadi dikarenakan mereka meninggalkan keterkaitan amal dengan keimanan hati, padahal sebenarnya amalan kekafiran yang ia lakukan itu bisa mengkafirkannya, apabila perbuatan tersebut telah ada wahyu yang menyatakan bahwa pelakunya telah kafir, meskipun hatinya tidak mengkafirinya, begitu pula ketika anggota badan melakukan kekafiran seperti halnya mencela Allah dan Rasul-Nya atau mengutamakan undang-undang buatan manusia dari pada syari’at islam.
          Demikian juga dalam urusan lain yang sudah dimaklumi oleh din, maka dalam mengkafirkan perbuatan tersebut tidak dibutuhkan introgasi kepada pelaku dosa, Apakah keimanan yang ada dalam hati itu membenarkan atau tidak? karena perbuatan tersebut telah menyatakan bahwa pelakunya telah kehilangan tashdiq atau tashdiq yang bersarang dalam dadanya itu sebagaimana tashdiq iblis kepada Allah dan hari akhir, maka mana mungkin tashdiqnya itu bisa bermanfaat? demikian juga halnya kesesatan yang terjadi pada mereka,  kecuali mereka bisa mendatangkan alasan dan hujjah yang cukup untuk mengeluarkan diri dari kekafiran yang dilakukan serta menyatakan keshahihan aqidah yang mereka yakini.[34]






DAFTAR PUSTAKA

1.      Al Qur’an Al Kariem dan terjemahannya
2.      Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah- Mu’asasah Ar Risalah, th. 1418 H/1997 M
3.      Manhaj Ibnu Taimiyyah fi Mas’alatit Takfir, Dr. Abdl Majid Al Masy’abi-Adhwaaus Salaf- Riyadh, cet.I Th. 1418 H/1997 M-
4.      Al Mausu’ah Al Muyassarah, Dr. Maani’ bin Khammad Al Jahny- WAMY-Riyadh, cet.III Th. 1418 H-
5.      Talbis Iblis, Ibnu Jauzy Al Baghdady-Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah- Beirut, Cet. IV Th. 1414 H / 1994 M
6.      Firaaqul Mu’ashirah, Ghalib bin Ali Awaji- cet. I th. 1414 H/1993 M-
7.      Syarh Al Usul Al I’tiqad, Al Lalikai, Maktabah layyinah, cet 1414 H  /1993 M
8.      Al Inhirafaat Al ‘Aqdiyah wa Al Amaliyah, Ali bin Bukhait Az Zahrani. Dar Ar Risalah, Makkah tanpa tahun cetakan.
9.      Al Misbah Al Munir, Al Fayumi, Maktabah Libanon. Th 1987 M.
10. Tartib Al Qamus Al Muhith, At Tahiir Ahmad Az Zawii, Cet ke IV 1996, Darul Alam Al Kutub-Riyadh.
11. Syubhatu Ahlil Fitnah Wa Ajwibah Ahlus Sunnah, Abdurrahman Ad Dimsaqiyah, Darul Jaariy-Libanon tanpa tahun cetakan.
12. Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar Al Asqalani, Cet I Th 1984, Darul Fikr-Beirut.
13. Shahih Muslim, Imam Muslim, Cet I Th 1998, Dar As Salaam-Riyadh.


            


[1] . Tartibul Qamus Al Muhid : 2 / 313
[2] . Al Misbahul Al Munir : 84
[3].  Firaq Muashirah , Ghalib Ali Awwaji,  Juz II hal : 745
[4].  Syarh Usul ‘Itiqad :1/ 25
[5].  Al Misbahul Al Munir : 84
[6].  Firaq Muashirah ,  Juz II hal : 746
[7]. Tahdzib At Tahdzib : 2 / 276-277
[8] . Syarh Usul ‘Itiqad :1/ 26- 27
[9] . Syarh Usul ‘Itiqad :1/ 26 -28
[10] . Firaq Mu’asirah : 757
[11] . Firaq Mu’asirah : 749
[12]. Al Inhirafat  Al ‘Aqdiyah wal Amaliyah : 119-120
[13] . Talbis Iblis, Ibnul Jauzi , Darul Kutub Ilmiah ,hal 29
[14] . Firaq Mu’asirah : 761
[15] . Majmu’ Fatawa, Ibu Taimiyah : 8 / 195
[16] . Majmu’ Fatwaa, Ibnu Taimiyyah  7 / 394-395
[17] .  Manhaj Ibnu Taimiyah fi Mas’alatit Takfir, DR. Abdul Majid Al Masabi : 2 / 327-328
[18] . An Nisaa’ / 4 : 48
[19] . Az Zumar  / 39: 53
[20] . Al Mujadalah / 58: 22
[21] . An Nahl / 16 : 106
[22] . Al Baqaraah / 2 : 7
[23] . HR Bukhari dan Muslim, Shahih Muslim, hadits no. 268-269
[24] . HR. Imam Muslim
[25] . HR. Ahmad
[26] . HR. Ahmad  dan Muslim
[27] . HR. Muslim
[28] . HR. Muslim
[29] . Firaq Muashirah, Ghalib Ali ‘Awaji 2 / 763-766
[30] . Surat At Taubah / 9 : 11
[31] . HR Bukhari dan Muslim.
[32] . HR Ahmad dan Thabrani.
[33] . Syubhaat Ahlul Fitnah Wa Ajwabah Ahlus Sunnah : 18 – 19.
[34] . Firaq muashirah, Ghalib Ali ‘Awaji 2 / 767

download Presentasinya , PPT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar